Xuan Zang, Biksu Penjelajah Paling Terkemuka Dalam Sejarah (Bagian 1)

Xuan Zang, Biksu Penjelajah Paling Terkemuka Dalam Sejarah

Naviri Magazine - Siapa pun pasti mengenal sosok bhikshu yang dikenal sebagai Tang San Zang (Tong Sam Cong). Bhikshu dengan nama asli Xuan Zang (Hsuan Tsang) ini terkenal sebagai guru siluman kera batu Sun Wu Kong (Sun Go Kong) dalam kisah Perjalanan ke Barat, karya Wu Cheng En (di Indonesia telah ditayangkan filmnya, dengan judul Kera Sakti).

Namun, sesungguhnya kisah asli perjalanan ke India yang dilakukan oleh Xuan Zang untuk mencari kitab suci dalam sejarah lebih dari sekadar khayalan sang penulis. Xuan Zang benar-benar pernah hidup di Cina, dan mengadakan perjalanan ke barat, namun tanpa disertai para muridnya yang merupakan siluman atau titisan dewa, melainkan seorang diri bahkan tanpa seizin kaisar Tang.

Berikut ini adalah kisah hidup Xuan Zang dan perjalanannya ke India, sesuai dengan catatan sejarah, beserta sedikit uraian tentang ajarannya.

Kehidupan awal

Sekitar tahun 600 M, di desa Chen He di Provinsi Henan, saat cuaca dingin dan kering, Chen Yi dilahirkan. Tidak ada yang menyangka anak bungsu keluarga Chen tersebut akan tumbuh menjadi seorang cendekiawan dan peziarah Buddhis yang ternama, Xuan Zang.

Keluarga Chen secara turun-temurun menghasilkan pejabat dan sarjana Confusius. Chen Yi juga diharapkan dapat mengikuti jejak leluhurnya. Untungnya, ayahnya Chen Hui sangat tertarik dengan ajaran Buddha, dan mempelajari kedua ajaran itu di rumah. Hal itu banyak mempengaruhi Chen Yi kecil. Ketika kakak keduanya menjadi bhikshu di vihara Jing Tu, ia juga pergi ke sana untuk mempelajari dan menjalankan ajaran Buddha.

Pada tahun yang sama, ketika baru berusia 6 tahun, ia menjadi seorang samanera. Biasanya, hanya anak kecil yang telah berusia paling kurang 7 tahun yang diizinkan untuk ditahbiskan sebagai samanera. Namun, Chen Yi dapat menyelesaikan ujian yang sulit dengan tepat, dan ditahbiskan dalam Sangha sebagai pengecualian, dengan memakai nama Buddhis "Xuan Zang".

Ia mempelajari ajaran Theravada dan Mahayana di vihara Jing Tu, dan menunjukkan kecenderungan pada ajaran Mahayana. Sejak usia belia, kecerdasan Xuan Zang yang luar biasa sudah terlihat. Hanya dengan mendengar uraian pada suatu sutra satu kali saja, dan mempelajarinya sendiri pada waktu lain, ia dapat mengingat keseluruhan sutra tersebut.

Itu luar biasa, karena biasanya suatu sutra mengandung jutaan kata. Para bhikshu lain memujinya sebagai jenius.

Saat ayahnya meninggal pada tahun 611 M, ia dan kakaknya terus mendalami ajaran Buddha di vihara Jing Tu, sampai ketidakstabilan politik memaksa mereka mengungsi ke kota Changan (sekarang Xi An).

Setelah itu, ia pergi ke Chengdu di Provinsi Sichuan, untuk mendalami lebih lanjut ajaran Buddha yang membuatnya bertambah pengetahuan dan berkembang nama baiknya. Pada usia 20 tahun, Xuan Zang ditahbiskan sebagai bhikshu.

Semakin banyak Xuan Zang belajar, semakin ia tidak puas dengan kualitas kitab-kitab Buddhis yang ada. Terdapat banyak terjemahan yang berbeda atas suatu sutra, kebanyakan bertentangan satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan penerjemahan kitab Buddhis kebanyakan dilakukan oleh para bhikshu luar dari India atau negeri lainnya.

Halangan bahasa merintangi terjemahan yang akurat, ditambah lagi masing-masing penerjemah memiliki pengertian berbeda atas kitab aslinya, yang cukup sulit dipahami. Perbedaan aliran dalam agama Buddha juga memperumit proses penerjemahan, karena masing-masing pengikut memiliki pandangan berbeda atas ajaran Buddha, yang sering diperdebatkan oleh pengikut aliran lain.

Sesungguhnya, pada awal abad ke-7 M, Cina telah menjadi "medan pertempuran" antara para pengikut aliran Yogacara, yaitu antara ajaran Yogacara berdasarkan karya Asanga dan ajaran yang sama berdasarkan karya Vasubandhu.

Xuan Zang berpikir, perdebatan antara keduanya disebabkan tidak tersedianya kitab-kitab penting aliran Yogacara dalam bahasa Cina. Jika Yogacarabhumi-sastra, kitab yang menjelaskan tahapan dalam Yogacara untuk mencapai Pencerahan yang ditulis oleh Asanga tersedia dalam bahasa Cina, ia pikir dapat menyelesaikan semua perdebatan.

Pada abad ke-6 M, bhikshu India bernama Pamartha telah menerjemahkan sebagian isi kitab itu. Namun, Xuan Zang bertekad untuk mendapatkan versi lengkap kitab ini langsung dari tanah kelahiran Buddha, India.

Semua ini membawa Xuan Zang pada kesimpulan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar, ia harus pergi ke barat untuk mendapatkan kitab suci asli agama Buddha.

Seakan-akan karma baik Xuan Zang berbuah, seorang murid dari bhikshu kepala Silabhadra, yang merupakan pemimpin dan bhikshu tertinggi dari Universitas Nalanda, tiba di Changan melalui perjalanan laut. Ketika sang murid mengetahui bahwa Xuan Zang sedang merencanakan perjalanan ke India, ia mengatakan, "Untuk memahami makna sesungguhnya dari kitab-kitab suci, kamu harus pergi ke Universitas Nalanda dan belajar di bawah bhikshu Silabhadra."

Demikianlah, Xuang Zang menetapkan tujuan perjalanannya ke Universitas Nalanda yang tak lain adalah vihara Halilintar di surga Barat, dalam kisah rekaan Perjalanan ke Barat.

Perjalanan ke Barat

Pada tahun 629, Xuan Zang memulai perjalanan bersejarahnya. Saat itu, Kaisar Tang Zhen Guan baru naik tahta 3 tahun. Bangsa Gokturks (Turki Timur) terus-menerus menyerang perbatasan barat Cina, sehingga pemerintah menutup jalan menuju barat, melarang siapa pun kecuali para pedagang dan orang asing melakukan perjalanan ke arah tersebut.

Pada waktu itu, Xuan Zang dan beberapa bhikshu lain, dengan tujuan yang sama, mengajukan permohonan izin untuk melewati perbatasan (yang disebut "guo shuo" atau paspor) kepada pemerintah, tetapi ditolak. Para bhikshu lainnya menyerah, namun Xuan Zang memutuskan untuk secara diam-diam keluar dari Changan.

Dalam perjalanan, ia dihentikan di Liang Zhou karena tidak punya paspor. Seorang kepala bhikshu menolongnya meloloskan diri. Ia mengendarai kuda siang dan malam, hingga akhirnya sampai di Gua Zhuo. Pada saat yang sama, titah pemerintah yang memerintahkan penangkapannya juga sampai di sana. Untungnya, para pejabat di sana, yang merupakan umat Buddha yang taat, menunda titah tersebut dan melepaskan Xuan Zang.

Walaupun berhasil lolos dari tangkapan pemerintah, bahaya sebenarnya masih menanti Xuan Zang. Tidak seperti dalam kisah Perjalanan ke Barat di mana bahaya tersebut datang dari para siluman yang hendak membunuh dan memakan dagingnya, bahaya yang dihadapi Xuan Zang lebih nyata, tetapi tak kalah mematikan.

Setelah melewati Gansu, Lanzhou, dan Dunhuang di akhir Tembok Besar, ia mengambl jalan ke cabang utara Jalur Sutra, melewati Yu Men Guan, untuk menuju ke Gurun Gobi, bahaya pertama yang akan ia hadapi.

Gurun Gobi yang luas dan kering, dengan suhu yang ekstrem, panas menyengat di siang hari dan dingin membeku di malam hari, merupakan hal mematikan bagi penjelajah, ditambah lagi dengan tipisnya persediaan air, makanan, dan tempat berlindung.

Saat Xuan Zang memacu kudanya ke gurun tersebut, ia melihat tulang belulang manusia, sisa-sisa para penjelajah yang tersesat dan menemui ajal di tengah-tengah hamparan pasir tersebut.

Baca lanjutannya: Xuan Zang, Biksu Penjelajah Paling Terkemuka Dalam Sejarah (Bagian 2)

Related

History 4413535359614246490

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item