Kontroversi AIDS, Antara Temuan dan Hoax Terkenal (Bagian 1)

Kontroversi AIDS, Antara Temuan dan Hoax Terkenal

Naviri Magazine - HIV/AIDS sudah menjadi sebutan terkenal penyakit yang disebut tidak bisa diobati karena belum ada obatnya. Sebagian besar atau mayoritas orang percaya mengenai hal ini. Namun bukan berarti semua orang langsung percaya. Sebagian orang mempertanyakan kebenaran mengenai HIV/AIDS, dan mereka populer disebut sebagai penyangkal AIDS atau AIDS denialist.

Mereka menyangkal keberadaaan HIV, dan menuding virus ini adalah sebuah kebohongan. Sekalipun menerima eksistensi HIV, mereka percaya bahwa virus tersebut bukan penyebab AIDS. Gejala AIDS yang timbul, menurut mereka, diakibatkan sebagai kombinasi penggunaan narkoba, kekurangan nutrisi, sanitasi yang buruk, dan efek samping ARV.

Selain mengkritik keterkaitan antara HIV dan AIDS, para AIDS denialist juga mempromosikan pengobatan alternatif sebagai penyembuhan yang jitu daripada ARV. Mereka umumnya membangkang dari pemeriksaan medis, dan bermusuhan dengan industri farmasi ilmiah.

Di berbagai negara, beberapa ilmuwan telah mengkonversi diri mereka sebagai AIDS denialist. Salah satu yang tersohor dan berpengaruh adalah Peter Duesberg, Profesor Biologi Mokular dan Sel di University of California, yang sejak tahun 1987 membantah bukti ilmiah yang menyebutkan HIV adalah penyebab AIDS.

Ilmuwan lain yang tak kalah membangkang adalah ahli biokimia, David Rasnick dan Harvey Bialy. Bahkan, Kary Mullis, yang dianugerahi Nobel Prize untuk perannya dalam pengembangan PCR, menunjukkan simpatinya terhadap teori AIDS denialist.

Lalu bagaimana eksistensi AIDS denialist di Indonesia yang notabene salah satu negara yang cukup progresif dalam pertumbuhan penderita HIV/AIDS?

Menurut Agus Sunandar, ahli pengobatan tradisional Yasar Nurma Foundation, komunitas AIDS denialist di Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang berarti.

“Di negeri ini, AIDS denialist hanya digerakkan oleh penggiat pengobatan alternatif dan holistik. Sementara ODHA belum ada yang menjadi denialist, karena mereka cenderung menutup diri. Tidak seperti di luar negeri, ODHA dirangkul dan tidak memandang HIV/AIDS sebagai sesuatu yang buruk. Tidak begitu di Indonesia, ODHA terisolir dan ‘dipaksa’ menggunakan HIV. Makanya kita bisa melihat ODHA pro-ARV dan anti-ARV saling memusuhi,” ujarnya.

‘Permusuhan’ yang terjadi di antara pro-ARV dan anti-ARV di kalangan ODHA, menurut Agus, dipicu oleh penanganan HIV/AIDS yang tidak tepat sasaran. Dia mencontohkan, di milis AIDS-secure yang berbasis di Amerika Serikat, semua penderita HIV/AIDS berkumpul dan berdiskusi. Tidak ada pengkotak-kotakan terapi pengobatan yang dilakukan, baik melalui ARV atau holistik.

“Tetapi yang terjadi di milis AIDS-ina lebih banyak berbicara tentang kelompok pengguna ARV tanpa melibatkan holistik. Mereka berbicara hanya tentang ARV dan dana,” tandasnya.

Selain itu, Agus mempertanyakan rekomendasi medis yang selalu mendorong pengguna jarum suntik, narkoba, dan penyakit menular seksual (PMS) untuk melakukan tes HIV.

“Kalau di luar negeri, pengguna narkoba yang kesehatannya merosot tidak langsung diarahkan untuk tes HIV, melainkan dicari penyebab lainnya terlebih dahulu. Parahnya lagi, tes HIV di sini standar dilusinya 1:20 hingga 1:30, sementara di luar negeri 1:400. Sehingga mereka yang diperiksa darahnya di sini rentan sekali false positive.”

Agus mencatat, setidaknya terdapat lebih dari 60 kondisi penyakit yang mengakibatkan false positive jika seseorang melakukan tes HIV dengan standar dilusi 1:20, seperti gagal ginjal, virus herpes simplex, malaria, hepatitis B, tumor/kanker ganas, lupus SLE, flu, TBC, lepra, sirosis akut, dan sebagainya. Namun, begitu diperiksa dengan tes dilusi 1:400 hasilnya akan menjadi negatif.

“Pernah ada pasien pengguna narkoba yang dinyatakan positif HIV datang ke saya. Dengan diagnosa kasar saja saya tahu kalau dia penderita TBC. Tetapi oleh rumah sakit dia hanya disuruh menjalani tes HIV tanpa melibatkan tes paru-parunya, karena mereka cenderung melihat perilaku tanpa melihat riwayat. Makanya pengguna narkoba langsung diarahkan tes HIV tanpa melihat tes lainnya.”

Selain itu, Agus juga mengaku pernah dibuat bingung oleh pasien seorang ibu tua berusia 58 yang menderita sariawan di mulutnya, tetapi begitu dilakukan tes HIV dia dinyatakan positif.

“Dia tiba-tiba saja langsung disuruh minum ARV seumur hidup. Hal ini tentunya menambah beban dia. Padahal, menurut hasil analisa saya, ternyata sariawan itu berasal dari asam lambungnya yang tinggi karena hobi makan mi instan,” tandasnya.

ARV membuat takut

AIDS denialist memang menentang diagnosa secara medis bagi penderita diduga HIV/AIDS. Mereka lebih menekankan pendekatan secara holistik, diagnosa menyeluruh organ tubuh penderita, tidak dalam satu aspek tes HIV, serta dengan melihat riwayat penyakit.

“Pengguna jarum suntik, jika menyuntikkan heroin ke dalam pembuluh darahnya berarti di dalam darahnya berpotensi timbul sel-sel kanker. Bagi pecandu, mereka dipastikan pula terkena hepatitis dan menimbulkan pembengkakan kelenjar. Jika dites HIV dia sudah dipastikan positif,” ungkap Agus.

Seseorang yang melakukan tes HIV, jika dinyatakan positif HIV, sudah dipastikan pengobatan yang direkomendasikan medis adalah ARV. Padahal, Agus berpendapat ARV itu seperti antibiotik lainnya. Jika digunakan berkepanjangan akan merusak. Apalagi, pada dasarnya dia memandang obat-obat kimia merupakan racun untuk hati.

“Mereka tidak memberikan pilihan pengobatan kepada penderita HIV/AIDS yang diperlakukan sebagai komoditas. ARV tidak humanis dan cenderung membuat orang takut dengan slogannya yang digembar-gemborkan sebagai penahan perkembangan virus dan memperpanjang umur, tetapi tidak pernah ditulis kontra indikasi dan efek samping ataupun penggunaan suplemen makanan. Di sini tidak boleh ada arti kata penyembuhan, karena tujuannya hanya untuk mempromosikan penggunaan ARV saja dan menempatkan pasien sebagai objek,” terangnya.

Baca juga: Kontroversi AIDS, Antara Temuan dan Hoax Terkenal (Bagian 2)

Related

Health 8100578622879327933

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item