Sejarah Liechtenstein, dari Zaman Sebelum Masehi Sampai Era Kini

 Sejarah Liechtenstein, dari Zaman Sebelum Masehi Sampai Era Kini

Naviri Magazine - Liechtenstein bukan negeri biasa. Catatan sejarah wilayah ini teramat panjang. Tercatat sejak 3.000 ribu tahun Sebelum Masehi sebagai wilayah berpenduduk tertutup. Orang-orang Pegunungan Alpen kuno sudah menempati wilayah tersebut, sebelum Kekaisaran Romawi Kuno menjadikannya daerah taklukan.

Di masa kekuasaan Charlemagne (742-814), Raja Franks (suku Germanic Barat), negeri itu berada di bawah kekuasaannya. Namun, pasca kematian Charlemagne selaku penguasa Eropa, wilayah tersebut terbagi menjadi dua negeri merdeka, Vaduz dan Schellenberg. Kedua negeri ini kemudian menjadi bagian Holy Roman Empire.

Lalu Johann Adam Liechtenstein, seorang pangeran asal Vienna, mencaplok Schellenberg (1699) dan Vaduz (1712). Kedua wilayah ini kemudian disatukan, dan hingga kini pangeran yang menguasai Liechtenstein adalah keturunannya.

Secara historis, Liechtenstein menjadi negara merdeka sejak 1719, walau secara prinsip tercatat sejak berlakunya Treaty of Pressburg tahun 1806. Namun ketika Napoleon I (1769-1821) naik tahta selaku Kaisar Prancis, Liechtenstein tunduk di bawah kekuasaannya.

Sampai akhirnya di tahun 1815, negeri itu bergabung dengan Konfederasi Jerman (persatuan negara-negara Jerman yang tetap independen). Konfederasi ini dibubarkan pada 1866, setelah berakhirnya Perang Tujuh Minggu (Seven Weeks’s War) atau disebut juga Perang Prusia.

Usai Perang Dunia I, akibat kehancuran ekonomi seusai perang, Liechtenstein mengikat kerja sama dengan Austria. Kemudian diperluas dengan Austria dan Hongaria. Lantas pada 1924, Liechtenstein setuju untuk berserikat secara ekonomi dengan Switzerland.

Selama Perang Dunia II, Liechtenstein tetap bersikap netral. Ia menjadi negara yang dititipi barang-barang berharga negara tetangga yang terlibat perang.

Selama Perang Dingin pasca PD II, negara ini memberikan suaka bagi sekitar lima ribu tentara First Russian National Army (gabungan tentara Rusia dan Jerman). Sebagai kenangan akan peristiwa ini, dibangun sebuah monumen di kota perbatasan Schellenberg. Namun urusan suaka ini tidak berbiaya murah. Sementara Liechtenstein hanyalah negara kecil.

Untuk mengatasi krisis ekonomi pasca perang, keluarga kerajaan menjual beberapa koleksi benda seni mereka dalam lelang internasional. Termasuk satu potret "Ginevra de' Benci" karya Leonardo da Vinci, yang akhirnya dibeli National Gallery of Art of The United States pada 1967.

Namun Liechtenstein dengan cepat membangun perekonomian negerinya. Negara mungil ini memodernisasi ekonominya, dan menetapkan pajak murah untuk dunia usaha di negerinya. Ia juga mengembangkan perindustrian di samping usaha agraria (peternakan dan pertanian), yang sebelumnya menjadi hasil utama negeri itu.

Karl Schwarzler, bersama warga Liechtenstein, pernah dianugerahi hadiah Nobel dalam bidang ekonomi (2003) untuk keunikan kebijakan ekonominya.

Pada 1991, Liechtenstein bergabung dengan European Free Trade Association (Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa).

Pangeran Liechtenstein tersohor dengan koleksi benda-benda seninya, yang beragam dan langka. Ia menyimpan karya-karya seni itu di Vaduz Castle, termasuk karya masterpiece Pieter Bruegel The Elder, Sandro Botticelli, Rembrandt, dan Peter Paul Rubens.

Dinasti pangeran Liechtenstein (kini di tangan Prince Hans-Adam II dengan kepala pemerintahannya Otmar Hasler) termasuk dalam daftar 10 kepala negara terkaya di dunia, dengan estimasi kekayaan tetap 4 miliar dolar AS. Dan hal itu juga berdampak pada penduduk negeri tersebut sebagai salah satu rakyat yang menikmati standar hidup tertinggi di dunia. Artinya, sangat makmur.

Related

World's Fact 8651263832650964540

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item