Kisah Para Sufi Zaman Dulu: Tekun Beribadah dan Rajin Bekerja

Kisah Para Sufi Zaman Dulu: Tekun Beribadah dan Rajin Bekerja

Naviri Magazine - ‘Umar bin Khatthâb pernah mengatakan kepada orang-orang yang memahami tawakkal sebagai pasrah kepada Tuhan sepenuhnya tanpa harus bekerja atau berusaha (kasab): “Inna al-Sama-a La Tumthiru Dzahaban wa La Fiddhah” (Tuhan tidak akan menurunkan emas atau perak dari langit).

Ucapan ini mengandung arti bahwa rezeki tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan atau menunggu pertolongan Tuhan semata, atau mengharapkan pemberian orang lain, melainkan harus dicari melalui usaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh.

Ibn Athaillah al-Sakandari mengatakan: “Keinginanmu untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada usaha (kerja) saat Tuhan masih menghendakimu berusaha/bekerja, adalah keinginan yang menyembunyikan hasrat”.

Para ulama besar dan kaum sufi selalu menekankan pentingnya bekerja atau memiliki pekerjaan. Mereka juga terlibat dalam usaha perdagangan, pertanian, perkebunan, peternakan, menjahit, bertenun, dan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan masanya.

Abû Hanîfah dikenal sebagai al-Bazzaz, pedagang kain. Ia mempunyai toko dan melayani sendiri. Pada saat-saat tidak ada pembeli, Abû Hanîfah mengisi waktunya dengan membaca buku/kitab atau memberi fatwa. Fatwa adalah jawaban atas pertanyaan orang lain tentang suatu masalah atau hukum.

Sari al-Saqathî, seorang sufi besar (w.255H/871M) adalah saudagar bangunan di pasar. Abû al-Qâsim al-Junaidî (w. 295H/910M) memiliki toko pemotong kaca, dan melayani sendiri para pembelinya. Abû Husain al-Nûri pernah menceritakan tentang sosok al-Qursyairî (w. 465H/1072M), sufi besar dan penulis buku tasawuf terkenal, Risâlah al-Qusyairiyah.

Katanya: “Setiap pagi, ia (al-Qursyairî) berangkat dari rumah menuju tokonya, dan membeli beberapa potong roti di tengah jalan. Ia memberikan sebagian roti yang dibelinya untuk disedekahkan kepada orang yang memerlukan. Menjelang shalat zhuhûr, ia pergi ke masjid untuk menunaikan kewajiban beribadah kepada Allah. Setelah itu ia kembali lagi ke tokonya.

“Tidak banyak orang yang tahu bahwa setiap hari ia berpuasa. Para pedagang yang lain menyangka ia telah sarapan atau makan di rumahnya. Sementara orang rumah menduga ia sudah makan di pasar. Selama dua puluh tahun, ia melakukan pekerjaan seperti itu”.

Ibnu Khafîf memberitahukan kepada kita: “Pada masaku, kebanyakan para guru sufi memiliki pekerjaan sebagai penghidupan (penopang hidup) mereka. Aku sendiri belajar memintal benang. Hasilnya aku jual di pasar untuk menghidupi keluargaku”. (Warisan Sufi, I/8).

Nabi Muhammad saw pernah mengatakan: “Wa lâ takûnu Kallan ‘alâ al-Nâs” (janganlah kamu membebani orang lain). Ketika Nabi bersama sahabat-sahabatnya melakukan perjalanan perang di luar kota, mereka melihat seorang pemuda dengan tubuh yang kekar tengah mencangkul di sawah.

Salah seorang sahabat bergumam sendiri: “Andaikan ia kita tarik untuk ikut perang bersama kita”. Nabi mendengar gumaman tersebut, lalu memberi komentar: “Jika ia bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya, maka ia adalah jihad fi sabilillah, berjuang di jalan Tuhan, sama seperti kita”.

Related

Moslem World 4047987419164358929

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item