Sejarah Indonesia di Bawah Kepemimpinan Soeharto dan Orde Baru

 Sejarah Indonesia di Bawah Kepemimpinan Soeharto dan Orde Baru

Naviri Magazine - Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi, untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo, dengan badan intelijennya, mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya, dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam.

Beberapa bulan setelah peristiwa Malari, sebanyak 12 surat kabar ditutup, dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.

Pada 1978, untuk mengeliminir gerakan mahasiswa, diberlakukan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah, lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah, dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.

Kemudian, pada tahun 1979-1980, muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru, yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik.

Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.

Puncak Orde Baru

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno, yang cenderung bersifat sosialis.

Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) yang diangkat adalah lulusan Berkeley, sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan ekonomi, industri dan keuangan Indonesia.

Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI, yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun, pada 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili.

Peran IGGI digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya, yang berada di bawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO.

Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah), yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan, serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional, terutama paska krisis 1997.

Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya.

Kemudian, kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan, sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia, sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan.

Kemudian, dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun, dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik hingga muncul istilah "mayoritas tunggal", di mana GOLKAR dijadikan partai utama, dan mengebiri dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncul berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian, pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat, yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.

Related

History 2616040255575737915

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item