Kontroversi Sophia, Robot Paling Cerdas di Dunia Saat Ini (Bagian 2)

Kontroversi Sophia, Robot Paling Cerdas di Dunia Saat Ini

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kontroversi Sophia, Robot Paling Cerdas di Dunia Saat Ini - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Arab News menyebutkan alasan diberikannya kewarganegaraan itu karena keinginan Sophia untuk mencapai karakteristik yang identik dengan manusia. Tentu itu terdengar konyol, mengingat robot itu hasil program yang diciptakan manusia.

Pun kalau begitu alasannya, lantas secara logis kita bisa bertanya balik, bagaimana nasib manusia lainnya? Atau apakah pemerintah Arab Saudi sudah cukup mencapai karakteristik manusia terkait perilakunya terhadap manusia lain—terutama perempuan.

Seperti yang dikatakan Sophia sendiri ketika menjawab pertanyaan terkait kesadarannya sebagai robot. "Baiklah, saya tanyakan ini kembali, bagaimana Anda tahu bahwa Anda adalah manusia?” kata Sophia.

Menurut World Economic Forum dalam Global Gender Gap Report 2016, Arab Saudi berada di deretan terbawah, tepatnya di peringkat 141 dari 144 negara dalam hal kesenjangan gender.

Laporan itu memperhitungkan empat hal mendasar dari warga negara, yakni kesempatan dan partisipasi ekonomi, pencapaian pendidikan, pemberdayaan politik, serta kesehatan dan kelangsungan hidup. Semakin rendah peringkat suatu negara di dalamnya, berarti semakin besar kesenjangan gender yang terjadi di negara tersebut.

Laporan dan persoalan itu bersesuaian dengan yang dideskripsikan dalam Amnesty International Report 2016-2017. Dalam laporan Amnesty International itu diungkapkan, perempuan dan anak perempuan terus menghadapi diskriminasi dalam hukum dan praktik kehidupan sehari-hari.

Mereka tidak dilindungi secara memadai dari bentuk kekerasan seksual dan bentuk kekerasan lainnya. Perempuan tetap berada di lapisan sosial bawah dan inferior dibandingkan laki-laki, baik di wilayah privat maupun publik.

Memang setidaknya ada lima aturan baru yang menghapus kedudukan tidak setara antara perempuan dan laki-laki di Arab Saudi saat ini. Yakni, perempuan diperbolehkan mengemudikan kendaraan, masuk ke dalam stadion, memakai bikini di area resort tertentu, dan sejak Desember 2015 boleh ikut serta memilih maupun dipilih dalam pemillihan umum (pemilu) tingkat kotamadya yang digelar secara nasional.

Benar, itu suatu capaian dan kebanggaan. Tapi perjalanan untuk mencapai itu tidak singkat. Upaya itu telah berlangsung selama puluhan tahun, tepatnya sejak 1990. Saat itu, perempuan di Arab Saudi mulai menuntut reformasi sosial, termasuk hak untuk mengemudi.

Tapi, kalau Anda cukup optimistis dengan keinginan Pangeran Muhammad bin Salman untuk memoderasi Arab Saudi menjadi negara yang lebih moderat, seperti yang ia sampaikan beberapa waktu lalu, mungkin Anda bisa melihat pemberian kewarganegaraan dan hak istimewa kepada Sophia sebagai penanda bahwa perubahan memang sedang berlangsung.

Sehingga, sosok Sophia bisa dijadikan sebagai ikon emansipasi perempuan Arab Saudi?

Jika Anda tidak ingin terlalu serius menanggapi status kewarganegaraan Sophia, maka Anda bisa saja melihatnya hanya sebagai strategi marketing dari proyek pembangunan zona ekonomi khusus senilai 500 miliar dolas AS. Sebuah zona ekonomi khusus di tepi Laut Merah yang berbatasan langsung dengan Mesir dan Yordania, yang disebut NEOM, dan direncanakan selesai tahun 2025.

Seperti dikatakan Cheryl K. Chumley dalam The Washington Times, bahwa ‘upacara’ pemberian kewarganegaraan itu, tidak diragukan lagi, ditujukan untuk membuat lebih banyak dukungan untuk pembangunan NEOM—yang sedang digadang sebagai kiblat bagi robot dan pakar teknologi.

Acara itu digaungkan Kerajaan Saudi untuk menyambut “Visi 2030”, sebuah misi ekonomi Saudi untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap produk minyaknya. Tapi visi itu pun sebetulnya ada hubungannya dengan Sophia dan perempuan Arab Saudi.

Seperti disebutkan Amnesty International, rencana reformasi ekonomi "Visi 2030" pemerintah mencakup tujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di angkatan kerja Arab Saudi dari 22 persen menjadi 30 persen. Dan "menginvestasikan" kemampuan produktif perempuan sehingga "memperkuat masa depan mereka dan berkontribusi pada perkembangan masyarakat dan ekonomi.”

Jadi keterbukaan Arab Saudi terhadap hak-hak perempuan tidak lepas dari hitung-hitungan ekonomis. Arab Saudi dengan Visi 2030 sedang mencari peluang pendapatan lain untuk melepas ketergantungan dari hasil minyaknya. Dan keterlibatan perempuan sebagai modal manusia tidak bisa tidak pasti akan dilibatkan. Mengingat dari 906.552 warga Saudi yang menganggur, 687.500-nya adalah perempuan.

“Dalam waktu 20 tahun, kami akan menjadi kekuatan ekonomi yang tidak tergantung pada minyak. Kami tak peduli dengan harga minyak—mau 30 dolar AS, mau 70 dolar AS, sama saja buat kami. Pertarungan (harga minyak) itu bukanlah pertarunganku,” ucap Pangeran Muhammad bin Salman, dikutip dari Financial Times.

Jadi bukan tidak penting menghadirkan Sophia di panggung acara FII dan membuat sebuah ‘upacara’ pemberian kewarganegaraan. Semua itu tidak terlepas dari strategi memasarkan Visi 2030, dan kehendak Pangeran Muhammad bin Salman memoderatkan kerajaannya agar lebih terbuka untuk kedudukan yang setara bagi perempuan.

Sementara soal keadilan sejati bagi perempuan, bisa jadi itu efek samping dari kepentingan ekonomi Arab Saudi.

Di tengah ancaman kemerosotan ekonomi Saudi, untuk saat ini, ekonomi adalah panglima di negeri itu.

Related

Technology 1096266789817739276

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item