Kontroversi Sophia, Robot Paling Cerdas di Dunia Saat Ini (Bagian 1)

Kontroversi Sophia, Robot Paling Cerdas di Dunia Saat Ini

Naviri Magazine - Sophia, sesosok robot wanita, berbicara di atas panggung dalam acara Future Investment Initiative (FII) di Riyadh, Arab Saudi. Perempuan yang baru mendapatkan kewarganegaraan Arab Saudi itu memiliki hak yang lebih luas dibandingkan perempuan lain di negara yang dikenal menerapkan sistem hukum konservatif itu.

Berbeda dengan penampilan perempuan lain di Arab Saudi, Sophia mengenakan baju tanpa lengan, dengan bagian dada terbuka, dan yang paling jelas adalah tidak menggunakan burqa untuk menutupi kepala dan sebagian wajahnya.

Namun, bukannya mendapat sanksi hukum atas hal tersebut, kehadiran Sophia justru mengambil perhatian penuh dan disanjung banyak orang yang hadir.

Satu hal lagi: mungkin Sophia tidak memerlukan izin dari wali laki-laki untuk ke luar rumah dan tampil di atas panggung dalam acara yang mengumpulkan sebanyak lebih dari 3.500 politisi, pebisnis, dan bankir dari seluruh dunia itu.

Nama Sophia pun meramaikan kepala pemberitaan berbagai media. Bukan karena ia menyampaikan pidato yang memiliki pengaruh signifikan bagi orang banyak. Melainkan, lantaran status kewarganegaraan yang diberikan pemerintah Arab Saudi kepada Sophia. Mengapa demikian? Sebab Sophia menjadi robot pertama yang diakui sebagai seorang warga negara.

Tapi bukan sekadar itu. Bagi banyak orang, pertanyaan yang lebih penting ialah: sebagai warga negara Arab Saudi, apakah Sophia—robot perempuan setengah badan itu—akan dikenai perlakuan hukum yang sama seperti perempuan lainnya? Atau ia menjadi satu-satunya perempuan yang dikecualikan?

Satu hal yang pasti, Sophia tidak diciduk aparat hukum karena melakukan banyak pelanggaran sebagai seorang perempuan ketika menghadiri acara itu, berarti sejauh itu ia memang pengecualian. Robot yang pertama kali diaktifkan pada April 2015 itu telah menikmati hak istimewa sebagai seorang perempuan warga negara Arab Saudi.

"Saya sangat bangga atas perbedaan unik ini. Ini adalah sejarah untuk menjadi robot pertama di dunia yang memiliki kewarganegaraan," kata Sophia menanggapi Andrew Ross Sorkin, kolomnis New York Times, yang menjadi moderator ketika memberitahu hadiah kewarganegaraan itu.

Tidak berlebihan jika peristiwa itu kemudian disebut dengan ‘ironi Sophia’. Sebagai robot perempuan, Sophia diberi akses yang lebih luas daripada perempuan Arab Saudi yang memiliki daging, darah, dan tulang—manusia.

Dengan diakuinya Sophia sebagai warga negara Arab Saudi, berarti robot perempuan itu memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga perempuan lain di Arab Saudi. Hak dan kewajiban itu akan secara otomatis melekat pada dirinya. Dengan demikian, ia mestinya terikat dengan aturan-aturan hukum yang berlaku.

Jika memang benar secara hukum Sophia menjadi warga negara Arab Saudi, itu berarti—seperti perempuan Arab Saudi lainnya—ia mestinya hadir dalam acara itu menggunakan pakaian tertutup atau burqa. Dan panitia penyelenggara mesti menanyai Sophia, apakah ia sudah meminta izin kepada wali laki-lakinya untuk pergi ke luar rumah, terlebih untuk bicara di panggung forum tersebut.

Itulah yang mesti dilakukan oleh perempuan. Persis seperti yang dikatakan secara ironis oleh Ali al-Ahmed, direktur Institute for Gulf Affairs, seperti dikutip Washington Post, ”Wanita (di Arab Saudi) telah melakukan bunuh diri karena mereka tidak dapat meninggalkan rumah, dan Sophia berkeliaran."

Lebih luas lagi, status kewarganegaraan Sophia juga dipertanyakan, karena terkait dengan agama yang dianut robot humanoid tersebut. Di negara mayoritas Muslim dan menerapkan hukum syariat itu, untuk mendapatkan status kewarganegaraan cukup sulit jika seseorang bukan penganut agama Islam.

"Hukum Saudi tidak mengizinkan non-Muslim untuk mendapatkan kewarganegaraan. Apakah Sophia masuk Islam? Apa agama Sophia, dan mengapa dia tidak memakai jilbab? Jika dia mengajukan kewarganegaraan sebagai manusia, dia tidak akan mendapatkannya," ujar Ali al-Ahmed.

Nasib Sophia juga bikin cemburu para pekerja asing yang mengadu nasib di Arab Saudi. Sebab negara kaya minyak itu tidak memberikan kewarganegaraan kepada pekerja asing, meskipun jumlahnya sepertiga dari penduduk yang berjumlah sekitar 30 juta jiwa. Status kewarganegaraan itu juga tidak diterima oleh perempuan Arab Saudi yang menikah dengan laki-laki dari negara lain.

Sophia juga merasakan hak istimewa ketika ia diizinkan berdiri di atas panggung forum itu tanpa pendamping laki-laki, dan berinteraksi dengan lawan jenisnya—jika memang kita bisa menggunakan term gender pada robot.

Di Arab Saudi, ada aturan bahwa perempuan dewasa mesti mendapatkan izin. Human Rights Watch menyebutkan, di bawah sistem ini, wanita dewasa harus mendapatkan izin dari wali laki-laki—biasanya suami, ayah, saudara laki-laki, atau anak laki-laki—untuk bepergian, menikah, atau keluar dari penjara.

Ironis dan absurd, kan? Pemberian status kewarganegaraan dan hak istimewa itu seolah menggambarkan kedekatan dengan sesama manusia tidak jauh lebih berharga daripada kedekatan dengan robot. Manusia justru memberikan ruang kebebasan yang lebih longgar untuk robot daripada untuk manusia lainnya.

Tidak heran muncul seloroh di jagat media sosial bahwa, jika seseorang menginginkan kewarganegaraan Arab Saudi, atau jika perempuan di negara itu ingin mendapatkan akses hak yang lebih luas, maka solusinya satu: jadilah robot.

Baca lanjutannya: Kontroversi Sophia, Robot Paling Cerdas di Dunia Saat Ini (Bagian 2)

Related

Technology 9067533939874649713

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item