Sejarah Lengkap Agresi Militer Belanda II di Indonesia (Bagian 2)

 Sejarah Lengkap Agresi Militer Belanda II di Indonesia

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Agresi Militer Belanda II di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi presiden dan wakil presiden terpaksa tinggal dalam kota, agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh menteri yang hadir mengatakan, presiden dan wakil presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, presiden dan wakil presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi.

Presiden dan wakil presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara untuk membentuk satu kabinet dan mengambil alih pemerintah pusat. Pemerintahan Syafruddin kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

Selain itu, untuk menjaga kemungkinan Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatra, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar, dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis, yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta, sehingga tidak ikut tertangkap, adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan, Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto.

Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi. Dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar harus membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat, dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, dan Menteri Perhubungan.

Pengasingan pimpinan republik

Pada pukul 07.00 WIB, tanggal 22 Desember 1948, Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta, untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas.

Selama di perjalanan, dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satu pun yang tahu arah tujuan pesawat. Pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik.

Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir), para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat.

Sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP), dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara), diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang, dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda, dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

Gerilya

Setelah itu, Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1.000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tidak jarang, Soedirman harus ditandu atau digendong, karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa, rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter, yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1.

Salah satu pokok isinya ialah: Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber-wingate (menyusup ke belakang garis musuh), dan membentuk kantong-kantong gerilya, sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada 19 Desember 1948, bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat.

Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih, dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat, mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.

Related

History 8773925973911841971

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item