Ini Kisah Lengkap “Layangan Putus” yang Sedang Viral (Bagian 1)

Ini Kisah Lengkap “Layangan Putus” yang Sedang Viral

Naviri Magazine - Kisah Layangan Putus menjadi bahan perbincangan di berbagai jejaring sosial. Kisah tersebut menarik simpati banyak warganet dari berbagai media sosial.

Kisah Layangan Putus pertama kali diunggah oleh sebuah akun Facebook bernama Mommi ASF. Pengunggah menceritakan kisah hidupnya yang ibarat layangan putus, setelah berpisah dengan suami.

Di Instagram, Twitter, hingga Facebook, unggahan kisah Layangan Putus telah banyak diunggah ulang dan dibicarakan oleh warganet. Kisah layangan putus menceritakan seorang istri dengan empat orang anak yang harus dibesarkannya.

Dalam ceritanya itu dikisahkan bahwa sang suami cukup dikenal religius, bahkan punya beberapa channel YouTube dakwah. Belakangan, sang suami diketahui menikah dengan seorang selebgram yang kini telah hijrah.

Berikut adalah kisah Layangan Putus yang viral tersebut.

Tulisan pertama

Belasan tahun lalu, saat masih duduk di bangku SMA, aku memang suka menulis. Sekedar bercerita khayalan ABG demi mencari eksistensi diri. Kata orang bijak, penyakit yang tidak ada obatnya itu malas. Penyakit itu mengurung hobi menulisku. Dan seiring pertambahan usia dan kesibukan, urusan tulis menulis pun lupa sudah.

Berkembangnya jejaring sosial kembali menggelitik semangat menulisku. Sekedar merangkai kata di status dan mengisi caption foto yang kuunggah.Walaupun isinya hanya coretan receh berisi kebahagiaan di rumah bersama keluarga.

Hingga suatu ketika, kepedihan itu datang dari sana! Suami yang sudah kudampingi bertahun tahun, menemukan cinta baru pada seorang selebgram yang cantik, muda dan terkenal. Tanpa memandang status suamiku yang beranak empat, sang gadis cantik pun rela dijadikan yang kedua.

Kuenyahkan semua akun sosial mediaku. Marah, benci, sedih membuatku anti sosial. Kukambinghitamkan rasa hancurku pada sosial media. Membukanya membuatku berduka. Tentu murkaku tak berdampak apa-apa pada jejaring sosial yang kutinggalkan. Justru, perlahan kurasakan kehilangan tempat untuk menyalurkan hasrat menulis.

Allah Sang Maha Baik, mempertemukan aku dengan sahabat literasi. Seorang ibu yang menyarankanku untuk kembali menulis. Melampiaskan isi hati dan suka duka melalui aksara. "Writing is healing," sarannya.

Akhirnya inilah tulisan pertamaku. Cukup mengobati luka. Semoga, goresan tinta berikutnya mampu memberi energi positif bagiku dan mengembalikan ketenangan. Jujur, ini bagai dendam yang tertunaikan.

Mommy

“Mommi aku mau Kumon habis ini,” ucap anak sulungku. Aku menatapnya sedikit tak percaya.

“Abang ngga capek sayang?”

“Engga kok, kan aku kumon, kan? Matematika ya mommi?”

Aku tersenyum mendengarnya. Kita masih setengah perjalanan menuju rumah dari sekolah. Amir anak sulungku genap berusia 8 tahun awal bulan ini. Sekarang dia sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar. Tahun lalu dia memang mengambil kelas bahasa Inggris dan matematika di kumon.

Namun kami putuskan untuk berhenti mengambil subjek Bahasa Inggris karena Amir lebih tertarik belajar di English First. Lembaga les bahasa asing yang menitikberatkan pada latihan percakapan menggunakan bahasa Inggris.

Tak berselang lama, matematika pun harus dihentikan, sebab bertabrakan dengan jadwal sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler. Tetapi hari minggu kemarin, kudampingi dia mengerjakaan PR di buku tematik. Amir terlihat kepayahan dalam menyelesaikan soal matematika.

Padahal saat masih belajar di kumon, dia sangat lancar menjawab hitungan sederhana. Iseng aku tawarkan untuk kembali mengambil bimbingan matematika di kumon, dengan catatan berhenti sejenak les di EF, dengan tidak mengambil term selanjutnya. Selain karena sisa waktunya yang terbatas, aku juga mengkhawatirkan biayanya.

Ternyata responsnya cukup baik, terbukti dia menanyakan hal ini.

“Abang hari ini belum kumon dulu, mommi kan belum daftar ulang, insya Allah bulan depan ya, doain mommi ada rejeki untuk bayar les kumonnya, ya.”

“Hmm mommi gak punya uang, ya?” pertanyaan polosnya membuat aku tersenyum. Tersirat dari ucapannya, dia mengerti kondisi keuangan kami tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya, juga ada rasa ngilu karena apa yang diucapkan Amir ada benarnya.

“Mmm sekarang beluum... belum loh bukan TIDAK ada. Kalau buat belajarnya abang, mommi yakin nanti akan ada uangnya.” Dia mengangguk dan kembali mengikuti lantunan murottal Ibrahim el-haq dari audio mobil.

16.55

45 menit kami berkendara, akhirnya sampai di rumah. Kuparkir dengan rapi dan kumatikan mesin mobil.

“Abang mandi ya sayang... seger-segerin badannya, istirahat sebentar, sambil siap siap ke masjid, ya. Mommi mau bangunin adek ya.”

Amir turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, sementara aku membangunkan pelan Arya yang tertidur di kursi belakang. Kukeluarkan barang-barang bawaan sekolah anak-anak yang masih tertinggal di mobil, seraya menggendong putra keduaku.

Disambut Abi (putra keempatku dari dalam rumah), “Mommi….” Dengan membuka kedua tanganya, ia meminta kupeluk. Aku memang mengajarkan anak-anaku setiap kali berjumpa harus saling peluk. Ya kami adalah team hugger.

Tapi kali ini di dekapanku ada Arya, sehingga aku hanya menyambut Abi dengan senyuman dan mimik bahagia.

“Adeeeek… sini sini sini,” kuarahkan ia ke sofa ruang tamu, kuletakkan pelan Arya yang juga mulai terjaga, kemudian kudekap erat Abi.

“Assalamualaikum sayang…” kuhujani pipinya dengan ciuman bertubi-tubi.

“Mmmmmmhhhuuuaaahhh…“ ia pun membalas mencium pipiku.

Arya yang sudah terbangun kupinta segera menyegarkan diri.

“Alman ngaji, Mba?” kutanya asisten rumah tanggaku yang sibuk merapikan tas anak-anak.

“Iya, Bu,” jawabnya singkat dan berusaha mengajak Abi main keluar.

“Ayok Abi, main sepeda… biar mami mandi dulu, ya.”

18.09

Adzan magrib berkumandang. Alman, anak ketigaku, pulang ke rumah setengah jam yang lalu. Ia bersemangat menemuiku dan memamerkan hasil tulisan Arabnya yang dinilai 90 oleh guru mengajinya. Bahagia itu sederhana.

Dia senang sekali mendapat hadiah permen dari ustadzah karena sudah berhasil menghapal surah Al Ashr.

Amir, Arya, dan Alman berlomba meraih tanganku untuk berpamitan, bergegas menuju mushola dan berlari, berlomba siapa yang lebih dulu sampai untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.

Haru bahagia menyeruak ke dadaku. Masya Alloh. Bahagia itu sederhana.

Mushola memang tak berjarak jauh dari rumah. Hanya terhalang satu rumah dari tempat kami tinggal. Anak-anak sudah biasa berangkat sholat dan mengaji sendiri. Ini salah satu yang membuat aku terus berusaha mempertahankan rumah ini.

Lokasi mushola yang sangat dekat dari rumah dan rasa kekeluargaan yang sangat erat antar tetangga di tengah keberadaan minoritas kami, menjadikanku sangat nyaman dan betah di sini.

19.58

Anak-anak masih belum pulang dari mushola, mereka mengerjakan sholat isya di sana. Arya memang tidak pulang sedari magrib tadi, berbeda dengan kakak dan adeknya. Amir dan Alman memilih makan malam selepas magrib di rumah. Sedangkan Arya di hari Senin dan Kamis terbiasa ikut buka puasa sunnah bersama di mushola.

Kulipat mukena dan sajadahku, kurapikan tempat tidur kami.

Geruduk geruduk duk duk.

Langkah kaki anak-anak berlomba menaiki tangga menyerbu masuk ke kamarku. “Assalamualaikum…” teriak mereka hampir bersamaan. Masing-masing antri memelukku.

“Mommi tadi makannya pakai sateeee,” laporan Arya.

“Hooo abang Arya tadi gak pulang setelah magrib, makan di mushola, toh?” aku pura-pura tidak tahu

“Iyaa, ini kan Senin.”

“Hooo iya ya hehe... mommi ga dibawain sate, nih?” ucapku menggodanya.

“Weeee ga boleeh. Kalau mau, mommi ke mushola aja besok-besok.” Aku hanya tersenyum mendengarnya.

Kupinta mereka segera berganti baju, bersikat gigi, dan pipis. Kutanya mereka apakah ada tugas sekolah atau tidak. Kompak semua menjawab tidak ada.

Jadi kami habiskan malam itu dengan bermain di kasur, mencoba jurus asal asalan ala boboiboi, kartun kesukaan mereka yang berasal dari negeri seberang. Hingga waktunya tidur tiba, pukul 21.00.

Tak jarang waktu tidur akan tiba lebih awal kalau salah satu di antara mereka mengalami ‘kecelakaan’ dalam bercanda. Signal kecelakaan muncul jika salah satu atau dua atau tiga atau bahkan keempatnya menangis.

22.54

Kupandangi wajah mereka satu-satu, terlelap dalam ketenangan malam. Kuciumi mereka dan terus kubisiki kata maaf. Kuusap rambut mereka perlahan, kembali kata maaf yang terucap untuk mereka.

Aku, 32 th, perantauan dari pelosok daerah. Hidup di Bali sudah 14 tahun. Aku menjalani pendidikan Dokter Hewan di Universitas Negeri Udayana tahun 2004. Pulang kampung 2011 hanya untuk menikah, kemudian kembali ke Bali karena suamiku bekerja di sini.

Baca lanjutannya: Ini Kisah Lengkap “Layangan Putus” yang Sedang Viral (Bagian 2)

Related

Romance 419777976362794162

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item