Oerip Soemohardjo, Tokoh Penting Dalam Angkatan Bersenjata Indonesia

 Oerip Soemohardjo, Tokoh Penting Dalam Angkatan Bersenjata Indonesia

Naviri Magazine - Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 23 Februari 1893, dan meninggal di Yogyakarta, 17 November 1948, pada umur 55 tahun. Ia adalah tokoh militer Indonesia dan pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.

Namanya kini digunakan sebagai nama salah satu jalan besar di kota Yogyakarta, sebagai bentuk penghormatan.

Dengan pangkat Letnan Dua KNIL, ia menjalani dinasnya di Kalimantan selama 7 tahun. Sebagai perwira, Oerip Soemohardjo dinilai cukup berhasil, terutama dalam tugas-tugas patroli. Ia satu-satunya orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor dalam KNIL, namun ia tidak menyetujui semua tindakan pemerintah jajahan, seperti diskriminasi.

Di Banjarmasin, Oerip Soemohardjo memprotes peraturan yang melarang pewira Indonesia memasuki kamar bola. Di Balikpapan, Oerip pun menentang peraturan yang melarang orang-orang Indonesia naik kereta api milik BPM.

Tanggal 31 Agustus 1938, di Purworejo, dilangsungkan upacara ulang tahun Ratu Wilhelmina. Oerip diangkat sebagai ketua panitia. Salah seorang undangan, yakni Bupati Purworejo, datang terlambat. Ia melarang Bupati memasuki tempat upacara.

Kasus tersebut dilaporkan kepada Departemen Perang, dan Oerip disalahkan. Kemudian ia dipindahkan ke Gombong. Karena merasa tidak bersalah, dengan perantaraan telepon, ia minta berhenti dari dinas militer.

Setelah Perang Dunia II, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan mobilisasi. Oerip Soemohardjo mendaftar kembali dan diserahi tugas memimpin depo Cimahi. Tahun 1942, semua tentara Belanda ditawan Jepang, termasuk Oerip. Setelah Oerip dibebaskan, Jepang menawarkan jabatan sebagai komandan polisi, namun ia menolak.

Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Oerip Soemohardjo masih berada di Gentan, tidak jauh dari Yogyakarta. Sementara teman-temannya bekas KNIL yang berada di Jakarta mengusulkan kepada pemerintah agar Oerip Soemohardjo diangkat menjadi pimpinan TKR.

Selanjutnya, Oerip mengumpulkan teman-temannya bekas KNIL untuk bersama-sama membuat atau mengeluarkan pernyataan tidak terikat lagi dalam dinas KNIL. Pernyataan itu ditandatangani 13 orang.

Tanggal 15 Oktober, Oerip Soemohardjo diangkat menjadi Kepala Staf Umum TKR, dengan pangkat Letjen. Tugas yang dihadapi cukup berat, jumlah tentara cukup banyak sedangkan organisasinya belum teratur.

Dalam keadaan demikian, TKR masih belum mempunyai pimpinan tertinggi yang bertanggung jawab secara penuh. Untuk mengatasi hal itu, pada November 1945, Oerip Soemohardjo mengundang para komandan divisi ke Yogyakarta untuk mengadakan rapat. Acara tunggal ialah memilih seorang panglima TKR. Tokoh yang terpilih ialah Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V Banyumas.

Peristiwa ini merupakan hal yang unik dalam sejarah perkembangan TNI, yaitu panglimanya tidak diangkat oleh pemerintah namun dipilih oleh anggota-anggotanya sendiri.

Ini memperlihatkan pula bahwa pemerintah pada masa itu kurang menaruh perhatian terhadap pembinaan tentara. Hal ini sangat disesalkan oleh Oerip.

Satu bulan kemudian, pemerintah baru menyetujui, dan tanggal 18 Desember 1945 Kol. Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR, dengan pangkat Jenderal. Oerip tetap sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat Letjen.

Untuk penyempurnaan lebih lanjut, dibentuk Panitia Besar Reorganisasi Tentara. Oerip duduk sebagai anggota. Di sini, buah pikirannya banyak dipakai. Hasil kerja panitia itu disetujui pemerintah, untuk kedua kalinya pada 20 Mei 1946, Letjen Oerip dikukuhkan sebagai Kepala Staf Umum TRI.

Hubungan antara TRI dengan laskar-laskar ini tidak selalu berjalan lancar. Seringkali terjadi persaingan antara keduanya, dan tentu saja keadaan itu merugikan perjuangan. Banyak komandan divisi tidak bersedia menyerahkan kekuasaan kepada penggantinya, seperti yang sudah ditetapkan oleh Panitia Besar Reorganisasi. Hal itu cukup memusingkan Oerip.

Oerip menentang kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu menilai rendah Angkatan Perangnya sendiri. Ia mengundurkan diri dari jabatan Kepala Staf Angkatan Perang dan dinas militer. Namun pemerintah masih mengangkatnya sebagai Penasihat Militer Presiden.

Apa yang sejak mula diduga dan dicoba Oerip dan Soedirman untuk mencegahnya, akhirnya terjadi. Tanggal 18 September 1948, PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Angkatan perang terpecah. Sebagian berpihak kepada pemberontak, sebagian lagi tetap setia kepada pemerintah.

Oerip tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus istirahat di rumah sakit, kemudian meninggal dunia. Sebagai pengahargaan atas jasa-jasanya, pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Kemerdekaan.

Related

History 8659849020263749860

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item