Ajaran Islam Terkait Perbedaan Pendapat Dalam Beribadah (Bagian 1)

Ajaran Islam Terkait Perbedaan Pendapat Dalam Beribadah

Naviri Magazine - Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan, “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.”

Ketika Nabi tidak melakukan suatu hal—dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut “at-tark”—mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman).

Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu hal karena tidak terbiasa, atau karena lupa, atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau (sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [ma’shum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kultural), atau karena takut hal tersebut memberatkan jika difardlukan atas umatnya, atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits, atau kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan, atau kenegaraan. Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.

Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal, itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukan karena kebetulan, atau karena menganggapnya tidak boleh, atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain.

Jika demikian halnya, at-tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

Oleh karena itu, al Imam asy-Syafi'i mengatakan: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah, meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf."

Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang".

At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu, atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya.

Jadi, at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja, jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk dilarang, bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh.

Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan. Jika tidak ada, berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja.

Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada (1) nahy (larangan), atau (2) lafazh tahrim atau (3) dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini, berarti at-tark bukan dalil pengharaman.

Karena itulah Allah berfirman: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah."

Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan: "Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa, misalnya."

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari: "Ibnu Baththal mengatakan, ‘Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah (konteks) lain—demikian pula tark-nya—tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman’." (Kitab Fathul Bari, 9/14)

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar menunjukkan bahwa at-tark saja (mujarrad at-tark) tidak menunjukkan pengharaman.

Perihal tuntutan “mana dalilnya?”

Sebagian kalangan sering mengatakan, ketika melihat orang melakukan suatu amalan, “ini tidak ada dalilnya!”, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut.

Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung.” (Q.S. al Hajj: 77)

Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan: "Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)."

Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu, bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut.

Sikap seperti ini sangat berbahaya, dan bahkan bisa mengantarkan pada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bila ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur'an dan sunnah, dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut.

Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum, dan itu artinya syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua akibat yang bisa mengantarkan pada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang nyata.

Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan, tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits, misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut, maka hal itu sudah cukup.

Baca lanjutannya: Ajaran Islam Terkait Perbedaan Pendapat Dalam Beribadah (Bagian 2)

Related

Moslem World 1333409407812562561

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item