Ajaran Islam Terkait Perbedaan Pendapat Dalam Beribadah (Bagian 2)

Ajaran Islam Terkait Perbedaan Pendapat Dalam Beribadah

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Ajaran Islam Terkait Perbedaan Pendapat Dalam Beribadah - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Ketiga, dalam ber-istidlal, sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits ini salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah.

Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli, maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya, seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya.

Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi, dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi. (Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul).

Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.

Hati-hati terperosok!

Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam ber-istidlal—orang yang tidak mengetahui bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih (h. 132):

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan: ‘Kedua, hadits tersebut menyalahi nash Al-Qur’an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi).

“’Ketiga, hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya’.”

Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan perempuan memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya.

Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih, menurutnya, yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an, seperti firman Allah:

"Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan, sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)

Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma', sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah di-nasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan perempuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah di-nasakh." (Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22).

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi, tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau pun khushushiyyah.

Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh, mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi.

Teladan toleransi ulama salaf

Dalam bidang furu’, tidak pernah ulama mujtahid mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat.

Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan lainnya.

Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain, selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya.

Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi, dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati:

“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi).” (Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584)

Maksud kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka.

Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut, maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. Wallahu a'lam.

Related

Moslem World 259349011715312174

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item