Mengapa Kerajaan-kerajaan Aneh Bisa Muncul, dan Mendapat Pengikut?
https://www.naviri.org/2020/02/keistimewaan-membaca-alquran.html
Naviri Magazine - Belum usai ribut-ribut Keraton Agung Sejagat, masyarakat kembali geger dengan kemunculan Sunda Empire. Ia merupakan salah satu kelompok tidak terdaftar yang muncul di Bandung, Jawa Barat.
Masyarakat menyebut kemunculan Sunda Empire mirip dengan Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Video tentang Sunda Empire sempat beredar di salah satu kanal YouTube, yang diunggah oleh akun bernama Alliance Press International.
Sejumlah konten mengenai Sunda Empire itu menyebar ke masyarakat melalui media sosial. Salah satu video yang tersebar, berisi sejumlah orang yang mengenakan atribut seperti militer, lengkap dengan topi baret. Salah satu dari mereka ada yang berorasi tentang masa pemerintahan negara-negara yang akan berakhir pada 2020.
Keberadaan Sunda Empire dinilai sama seperti Keraton Agung Sejagat, karena mereka menggunakan seragam-seragam serupa seragam militer lengkap dengan atributnya, yang tidak jelas asal-usulnya.
Dari hasil temuan polisi, Sunda Empire berhasil menggaet 1.000 anggota. Namun, berbeda dengan Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire tidak memiliki markas, singgasana, tempat rapat maupun memungut iuran anggota dengan iming-iming kekayaan.
Akibat delusi keagungan
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Koentjoro, memandang fenomena kerajaan fiktif tak selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi, dan masih berpeluang muncul di kemudian hari.
"Akan selalu terjadi. Sejak zaman dahulu ada, dan ke depan akan tetap ada," kata Koentjoro di Kampus UGM, Yogyakarta.
Menurut dia, berdasarkan ilmu psikologi, fenomena kerajaan fiktif seperti munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, serta Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat, biasanya dimunculkan oleh orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion).
Keberhasilan para penggagas kerajaan fiktif untuk menggaet pengikut, menurut dia, karena didukung dengan penguasaan psikologi massa sehingga mampu memengaruhi atau meyakinkan orang lain.
Cerita-cerita yang disampaikan di tengah kumpulan massa mampu mereka kemas secara menarik, sehingga membuat hal-hal yang tidak ada seolah nyata. Kemampuan itu berpeluang menghipnotis orang lain memutuskan menjadi pengikutnya. "Itulah suatu kekuatan psikologi massa, sehingga orang dengan mudah percaya dengan apa yang dikemukakan," kata dia.
Sementara itu, dari sisi para pengikutnya, Koentjoro memandang keputusan mereka tak selalu dilandasi motif ekonomi. Buktinya, menurut dia, merujuk fenomena Kerajaan Agung Sejagat, para pengikutnya rela mengeluarkan sejumlah uang, sekadar untuk membeli seragam sebagai syarat keanggotaan.
"Kalau kemiskinan, kenapa mereka mau membayar dua juta? Artinya mereka cukup. Kondisi miskin tapi berspekulasi, ada keinginan yang mau dicapai," kata dia.
Keputusan menjadi pengikut, menurut dia, bisa dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya berkaitan dengan post power syndrom. "Banyak di antara mereka orang-orang tua yang dulu punya jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi, yang kemudian ketika pensiun di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah, lalu dia menggabungkan yang ada di situ," kata dia.
Kemungkinan lain, kata Koentjoro, adalah kurangnya sentuhan kasih sayang atau penghargaan yang didapatkan para orang tua dari anak-anaknya. Sehingga sebagai sarana aktualisasi diri, mereka memilih bergabung dengan komunitas itu.
Untuk mencegah fenomena kerajaan atau keraton palsu muncul kembali, ia berharap pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk meningkatkan daya kritis masyarakat melalui pendidikan. "Kita ingatkan iqra (membacalah) agar kita mau berpikir, tidak mudah kena pengaruh," kata dia.
Berakhir jadi tersangka
Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat resmi menetapkan tiga petinggi Sunda Empire menjadi tersangka kasus penyebaran berita bohong.
Kabidhumas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Saptono Erlangga, mengatakan tiga petinggi yang menjadi tersangka itu di antaranya Nasri Banks sebagai perdana menteri, Raden Ratna Ningrum sebagai ratu agung, dan Ki Ageng Ranggasasana sebagai sekretaris jenderal.
"Sunda Empire ini merupakan penyebaran berita bohong yang sengaja untuk membuat keonaran di masyarakat, atau dengan sengaja menyebarkan berita yang tidak pasti," kata Saptono di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat, Kota Bandung.
Saat pengungkapan kasus, polisi menghadirkan dua tersangka, Nasri dan Ratna. Kedua tersangka yang merupakan petinggi Sunda Empire itu mengenakan baju tersangka berwarna biru. Sedangkan Ranggasasana, Saptono mengatakan bahwa tersangka tersebut sedang dalam perjalanan menuju Polda Jawa Barat.
Saptono menjelaskan, pengusutan kasus tersebut diawali adanya laporan dari budayawan yang merupakan Ketua Majelis Adat Sunda, Ari Mulia. Lalu, polisi meminta keterangan dari sejumlah saksi anggota Sunda Empire maupun saksi ahli.
"Kemudian penyidik telah melakukan gelar perkara terkait dengan Sunda Empire. Dari hasil keterangan ahli dari alat bukti, penyidik berkesimpulan bahwa kasus ini memenuhi unsur pidana," kata Saptono.
Tersangka Nasri dan Ratna diketahui merupakan pasangan suami istri yang berdomisili di Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung. Sedangkan tersangka Ranggasasana merupakan warga domisili Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten.
Sementara itu, Direktur Reskrimum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Suhartiyono, mengatakan, ketiga tersangka tersebut terbukti memenuhi unsur pidana penyebaran berita bohong karena membuat masyarakat resah tentang kebenaran sejarah.
"Akibatnya, masyarakat jadi bertanya-tanya apakah benar apa yang dikatakan Sunda Empire ini, itu kan sama saja membuat resah masyarakat," kata Hendra.
Atas perbuatannya, ketiga tersangka petinggi Sunda Empire dijerat pasal berlapis dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong dan menyiarkan kabar yang tidak pasti.