Kisah Masyarakat Dunia yang Bertahan Hidup di Tengah Lockdown Akibat Wabah Corona (Bagian 2)

Kisah Masyarakat Dunia yang Bertahan Hidup di Tengah Lockdown Akibat Wabah Corona naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Masyarakat Dunia yang Bertahan Hidup di Tengah Lockdown Akibat Wabah Corona - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Demi menangani dampak ekonomi akibat lockdown, pemerintah menggelontorkan uang sejumlah 4 miliar dolar AS bagi sektor bisnis terdampak, seperti transportasi, pariwisata, dan rumah sakit. Sumbangan dana ini jadi penting agar masyarakat bisa terus beraktivitas. Sisanya, Italia masih menerima bantuan dari negara lain, termasuk China.

Usaha lain dilakukan oleh penyiar radio di Codogno, salah satu kota yang terdampak paling parah dan disebut “Wuhan-nya Italia”. Di saat jalanan sepi, Pino Pagani, penyiar berusia 82 tahun, mencari cara membuat masyarakat tetap santai menjalani hari-hari terisolasi dari dunia luar.

Radio terbukti berhasil membuat warga bertahan menghadapi lockdown. Salah seorang wanita menelepon dan mengaku kesepian di tengah situasi darurat ini. Selama setengah jam Pagani menghiburnya, mengajak sang wanita bicara sampai tertawa. Tak lupa setelah itu dia menghubungi otoritas setempat, agar mendatangi wanita itu dan menanyakan apa kebutuhannya.

“Kita tidak tahu kapan karantina akan berhenti. Ini misteri besar. Siapa yang tahu jawabannya, layak menggondol beberapa ribu euro,” canda Pagani lewat radio, seperti diwartakan Al Jazeera.

Musuh utama dalam lockdown rupanya adalah kesepian. Masalah ini pula yang diwaspadai China ketika lockdown berlaku di Wuhan, Hubei.

Terlambat atau terlalu cepat?

Situasi lebih mengkhawatirkan terjadi di Manila, Filipina. Carino, perempuan berumur 37 tahun, bimbang ketika Duterte memutuskan lockdown Manila selama sebulan, sampai 13 April 2020 mendatang. Dia harus memilih pergi ke luar Manila dan meninggalkan suaminya sementara, atau bertahan di sana bersama keluarga.

Jika suaminya ikut pergi, tentu tidak akan ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan Ely Aboga, petugas keamanan di salah satu pusat perbelanjaan di Manila, takut jika tempat kerjanya ditutup sementara, sedangkan empat anak dan istrinya butuh makan selama lockdown.

“Bayaran saya belum keluar sekarang. Saat ini saya tak bisa membeli apa pun,” ujarnya dilansir Al Jazeera.

Warga Manila lain, bernama Ryan Amandy, merasa frustrasi dan putus asa. Dengan banyaknya korban Corona di seluruh dunia, Amandy merasa cepat atau lambat ia akan terpapar virus. Bagi Amandy, seharusnya pemerintah memberlakukan larangan bepergian sebelum Corona masuk ke Filipina, daripada memberlakukan lockdown di ibukota.

“Saya khususnya menyalahkan pemerintah, karena lambatnya merespons. Pelarangan bepergian dan karantina seharusnya dilakukan lebih awal. Mereka membiarkan masalah masuk dan sekarang jadi pandemi,” tegas Amandy.

Menyusul Filipina, pada Senin (18/3/2020) Malaysia juga memberlakukan lockdown. Kendati lockdown yang dilakukan secara mendadak belum tentu matang seperti yang terjadi di Filipina, Malaysia tidak peduli.

Untuk sementara, Malaysia sudah berjanji akan memberikan diskon tarif listrik untuk bulan April mendatang, dan bantuan finansial sebesar 600 ringgit bagi pekerja yang tak mendapat penghasilan akibat lockdown.

“Kami tidak bisa menunggu lebih lama sampai situasi jadi lebih parah lagi,” ucap Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, seperti diberitakan SCMP.

Lockdown di Malaysia akan berlangsung selama dua minggu sampai 18 April. Setelah menuai protes dari masyarakat karena dianggap lambat dalam menangani sebaran Corona, akhirnya pemerintah memutuskan lockdown saat jumlah kasus positif mencapai angka 553.

Indonesia sendiri sampai sekarang belum memutuskan untuk lockdown. Presiden Joko Widodo menegaskan, kepala daerah juga tidak boleh sembarangan ambil keputusan, dan harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sempat memberlakukan kebijakan dengan mengurangi sarana transportasi publik, dengan harapan masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah. Namun, kebijakan itu justru menjadi bumerang. Minimnya armada membuat antrian pengguna transportasi umum mengular dan menciptakan keramaian. Kebijakan ini akhirnya ditarik.

Apabila lockdown dilakukan sekarang, apakah Indonesia siap menghadapinya? Bisakah kita mengatasi kebosanan dengan orkes dadakan seperti di Italia?

Akankah Indonesia mengikuti Malaysia yang memberi bantuan finansial pada warganya untuk membeli kebutuhan pangan harian? Atau justru berakhir seperti manila yang warganya waswas karena semakin sulit bertahan hidup?

Related

News 8353532617380778411

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item