Britney Spears dan Kiprah Artis-artis Hollywood di Dunia Politik (Bagian 3)

Britney Spears dan Kiprah Artis-artis Hollywood di Dunia Politik naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Britney Spears dan Kiprah Artis-artis Hollywood di Dunia Politik - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dalam suasana itu pula lahir “Hanoi Jane”, sebutan untuk aktris cum aktivis Jane Fonda, salah seorang ikon anti-perang dari Hollywood. Sebagaimana diberitakan Time, julukan itu bermula dengan kecaman Fonda atas kebrutalan pasukan AS di sebuah siaran radio saat ia melawat ke Vietnam pada 1972.

Sutradara radikal asal Perancis, Jean-Luc Godard dan Jean-Pierre Gorin, membuat film-esai yang berangkat dari foto pemain film Barefoot In the Park (1967) dan Barbarella (1968) itu saat melancong ke Vietnam.

Satu film lagi, masih dari tahun 1972, ia buat bersama Jane Fonda. Berkisah tentang pemogokan buruh pabrik sosis, film itu berjudul Tout va bien. Setahun kemudian, Fonda menikah dengan Tom Hayden, perumus utama Maklumat Port Huron.

Pasangan itu mendirikan Campaign for Economic Democracy, sebuah organisasi penyokong kandidat-kandidat progresif. Fonda menyumbangkan keuntungan dari video-video aerobik yang dia buat untuk organisasi ini.

Desember 2019 silam, Fonda kembali turun ke jalan dan ditahan dalam protes perubahan iklim.

Lama setelah gelombang red scare, hancur-leburnya gerakan buruh di bawah Reagan sejak 1981, dan menghebatnya agitasi-agitasi neo-fasis, popularitas sosialisme memang sedang naik di AS, khususnya untuk kelompok usia milenial dan generasi Z, sebagaimana ditunjukkan oleh poling YouGov 2019 silam.

Dua generasi ini berbeda dari orangtua mereka yang mengalami masa muda ketika AS sedang di puncak kemakmuran. Dua generasi ini tak punya mimpi bisa membeli rumah ketika mereka dibebani oleh utang kuliah (student loan).

Dua generasi ini tumbuh di tengah politik ketakutan pasca-teror 9/11, Perang Irak, dan krisis ekonomi 2008. Dua generasi ini mencari makan dalam rezim kerja fleksibel yang tak menjamin kelayakan hidup, dan tak kunjung menaikkan upah minimum selama bertahun-tahun.

Yang juga tak kalah penting, mereka besar, belajar, dan mulai bekerja ketika Barack Obama sukses mengeluarkan AS dari krisis ekonomi 2008, namun gagal menghentikan laju ketimpangan sosial.

Makna sosialisme di AS hari ini bisa sangat plastis, mengingat distorsi sengaja yang dilakukan pemerintah dan kelompok-kelompok sayap kanan selama bertahun-tahun. Namun, konotasinya lebih positif dari yang selama ini didefinisikan kaum kanan.

Sebagian mengamini sosialisme sebagai perebutan dan kolektivisasi alat-alat produksi kapitalis. Sebagian lagi memahaminya sebagai paket kebijakan populis seperti jaminan kesehatan, pendidikan gratis, dan perlindungan bagi buruh.

Namun secara umum, mereka yang menyambut sosialisme bertumpu pada satu pokok: kapitalisme dalam bentuknya hari ini bukan sistem yang adil dan berkelanjutan bagi manusia dan alam. Sosialisme adalah tatanan masyarakat paling realistis jika Anda ingin kehidupan di planet Bumi bertahan.

Lebih dari 100 tahun silam, Werner Sombart menerbitkan buku berjudul Why There Is No Socialism in the United States?. Partai Sosialis dan gerakan buruh di AS, demikian argumen utama Sombart, gagal memperbesar pengaruh karena buruh-buruh AS lebih makmur dibanding rekan-rekannya di Eropa. Buruh tak terpesona dengan utopia sosialis dan bahkan cenderung konservatif.

Bertahun-tahun kemudian, buku ini menjadi kitab suci bagi para pandit yang meyakini “eksepsionalisme” AS—seolah kapitalisme Paman Sam memiliki kualitas supranatural yang bisa membuatnya terus lolos dari revolusi sosialis.

Tapi, Why There Is No Socialism in the United States? diterbitkan pada 1906. Saat itu tak seorang pun membayangkan pecahnya Perang Dunia I yang akhirnya memicu pergolakan sosial di seluruh dunia. Revolusi proletar adalah prospek yang jauh, bahkan bagi gerakan sosialis yang paling militan pun di Eropa. Sombart juga tidak mengantisipasi Depresi Besar yang merontokkan ekonomi AS.

Tentu ada masanya Amerika menjadi sangat makmur, khususnya di bawah konsensus negara kesejaherataan (welfare state) yang dirintis Franklin D. Roosevelt. Tapi, New Deal Roosevelt pun akan gagal jika tidak didukung oleh gerakan buruh yang terbakar militansinya sejak Depresi Besar.

Bagi kaum kiri Amerika hari ini, popularitas sosialisme pasca-pencalonan Sanders pada 2016 dan krisis kapitalisme di tengah wabah COVID-19 telah membuka jalan bagi penguatan kesadaran kelas pekerja.

Setidaknya, seorang tokoh publik telah menyuarakan beberapa pokok politik sosialis. Tak hanya itu, ia menggaungkan solidaritas dengan cara berterima kasih kepada para pekerja yang tetap berada di garda depan, meski kematian mengancam. Bagi mereka, working from home adalah kemewahan.

“Terima kasih penjaga toko sayur; Terima kasih tenaga medis; Terima kasih pekerja restoran; Terima kasih supir truk; Terima kasih para tetangga yang baik; Terima kasih buruh gudang; Terima kasih pekerja kebersihan; Terima kasih petani”, kata Britney beberapa hari silam.

Related

News 6227215573740912363

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item