Novel-novel yang Berkisah Tentang Wabah seperti Virus Corona (Bagian 2)

Novel-novel yang Berkisah Tentang Wabah seperti Virus Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Novel-novel yang Berkisah Tentang Wabah seperti Virus Corona - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Epidemi pada abad ke-21—Sars pada 2002, Mers pada 2012, Ebola pada 2014—telah menginspirasi sejumlah novel mengenai nelangsa pascawabah, kota-kota yang ditinggalkan, dan lanskap yang hancur.

Novel The Year of the Flood (2009) karya Margaret Atwood menyajikan dunia pascapandemi ketika umat manusia nyaris punah akibat 'banjir tanpa air', wabah mengerikan yang "menular melalui udara, seakan punya sayap, membakar kota-kota seperti api".

Atwood menangkap isolasi diri yang dialami beberapa penyintas dengan ekstrem.

Toby, seorang tukang kebun, memandang cakrawala dari taman atas gedung sebuah spa yang ditinggalkan. "Pasti ada orang lain yang tersisa... dia tidak mungkin satu-satunya manusia di planet ini. Pasti ada yang lain. Namun, apakah teman atau musuh? Jika dia melihat seseorang, bagaimana bisa tahu?"

Ren, seorang mantan penari trapeze yang menjadi pelacur, bisa bertahan hidup karena berada dalam karantina, setelah diduga tertular salah seorang pelanggannya. Dia menuliskan namanya berulang kali. "Anda tidak bisa lupa diri Anda, jika Anda terlalu banyak sendirian."

Melalui tokoh-tokoh yang mengenang peristiwa lalu, Atwood menjabarkan perusakan keseimbangan alam dan manusia oleh perekayasaan biologi yang disponsori perusahaan berkuasa, dan bagaimana aktivis-aktivis seperti Toby melakukan perlawanan.

Selalu waspada terhadap efek negatif sains, Atwood mendasarkan karyanya pada premis-premis yang sangat mungkin, sehingga novel The Year of the Flood seperti dapat meramalkan masa depan.

Yang membuat novel fiksi ini begitu memikat adalah manusia bergabung untuk melawan musuh yang bukan musuh manusia. Tidak ada 'si baik' dan 'si jahat', ceritanya lebih bernuansa. Setiap karakter punya kesempatan yang sama untuk bertahan hidup atau sebaliknya. Ragam respons individual pada situasi mengerikan menjadikan novel ini menarik.

Novel selanjutnya adalah Severance (2018) karya Ling Ma. Kisahnya dinarasikan tokoh bernama Candace Chen, seorang perempuan muda yang bekerja di perusahaan penerbit Alkitab, dan memiliki blog sendiri.

Chen merupakan satu dari sembilan penyintas yang kabur dari Kota New York saat pandemi demam Shen—yang fiktif—pada 2011. Ma menggambarkan kondisi kota itu setelah "infrastrukturnya… kolaps, internet mati, aliran listrik padam."

Candace bergabung ke sebuah kelompok menuju mall di pinggir kota Chicago, tempat mereka berencana bermukim. Dalam perjalanan, mereka melintasi sebuah lahan yang ditempati "makhluk yang meniru perilaku dan kebiasaan lama" sampai mati.

Apakah para penyintas kebal secara acak? Atau "dipilih" oleh panduan ilahi? Candace menyadari bahwa jika dirinya ingin selamat, dia harus mematuhi aturan keagamaan yang ditentukan pemimpin kelompok, Bob, seorang mantan teknisi IT. Hanya masalah waktu sebelum Candace memberontak.

Situasi kita saat ini tentu tidak seekstrem yang diceritakan dalam novel Severance. Ling Ma menjelajahi skenario terburuk yang, syukurlah, tidak kita hadapi. Dalam novelnya, Ling menuturkan apa yang terjadi dalam dunia imajinasinya setelah pandemi berakhir.

Setelah masa terburuk sudah dilewati, siapakah yang bertanggung jawab membangun kembali komunitas, budaya? Di antara sekelompok penyintas acak, novel itu mempertanyakan siapa penentu orang yang berkuasa? Siapa yang menyusun panduan praktik agama? Bagaimana para individual mempertahankan perilaku masing-masing?

Selanjutnya adalah novel berjudul Station Eleven karya Emily St John Mandel yang diterbitkan pada 2014.

Cerita dalam novel itu berlangsung sebelum, semasa, dan setelah flu menular asal Republik Georgia "meledak seperti bom neutron di permukaan bumi", sehingga melenyapkan 99% populasi dunia.

Pandemi dimulai pada malam ketika seorang aktor yang berperan sebagai Raja Lear mengalami serangan jantung di panggung. Istrinya adalah pengarang buku komik sains-fiksi di planet bernama Station Eleven yang muncul 20 tahun kemudian, saat sekelompok aktor dan musisi melintasi "sekumpulan kota-kota kecil" dengan memainkan Lear and Midsummer Night's Dream di mal-mal yang sudah tidak berfungsi lagi.

Station Eleven mengikuti gaya bercerita Canterbury Tales karya Chaucer pada abad ke-14, tatkala wabah 'Black Death' sedang melanda.

Siapa dan apa yang menentukan seni, tanya Mandel. Apakah budaya selebritas bermakna? Bagaimana kita membangun kembali setelah virus tak kasatmata menyerang? Bagaimana seni dan budaya berubah?

Pasti ada sejumlah orang yang sedang mengerjakan novel mengenai situasi sekarang. Lantas bagaimana penulis-penulis di masa mendatang menggambarkan pandemi saat ini? Bagaimana mereka menjabarkan berkembangnya semangat masyarakat, pahlawan-pahlawan tak terhitung di antara masyarakat?

Inilah pertanyaan-pertanyaan untuk direnungkan selagi kita semakin banyak membaca dan bersiap untuk kemunculan dunia baru.

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

Corona 1450538475865906568

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item