Ini yang Terjadi, Jika Vaksin untuk Virus Corona Telah Ditemukan (Bagian 2)

Ini yang Terjadi, Jika Vaksin untuk Virus Corona Telah Ditemukan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Ini yang Terjadi, Jika Vaksin untuk Virus Corona Telah Ditemukan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Vaksin membutuhkan ongkos penelitian yang lebih tinggi. Uji cobanya pun harus memenuhi regulasi yang lebih ketat dan kompleks. Badan kesehatan publik sekalipun, sebagai klien utama industri farmasi, membeli vaksin dalam harga yang lebih rendah daripada perusahaan swasta.

Ragam kondisi itu membuat vaksin tidak lebih menguntungkan ketimbang obat biasa, terutama vaksin yang hanya perlu didapat sekali seumur hidup.

Di AS, jumlah pabrik vaksin menurun dari 26 pada tahun 1967 menjadi hanya 5 pada 2004. Situasi ini terjadi karena banyak perusahaan mulai fokus pada tahap pengobatan ketimbang pencegahan.

Akan tetapi, banyak hal berubah. Berkat pendanaan yang diberikan sejumlah lembaga serta perorangan, seperti pasangan jutawan Bill dan Melinda Gates yang menyumbang miliaran dolar AS untuk meningkatkan cakupan vaksin, angka permintaan vaksin terus meningkat.

Vaksin yang laris manis

Industri farmasi menikmati kesuksesan komersial dari inovasi seperti Prevenar, vaksin untuk melindungi anak dan orang dewasa dari bakteri penyebab pneumonia.

Tahun 2019 Pevenar adalah satu dari 10 obat paling laku di dunia. Merujuk jurnal ilmiah Nature, penjualan Prevenar mencapai Rp92 triliun tahun lalu. Diproduksi oleh Pfizer, vaksin yang laris manis itu disebut lebih laku daripada viagra, produk yang dianggap paling terkenal dari perusahaan multinasional itu.

Merujuk komitmen pembelian jumlah besar yang menurunkan harga, ongkos yang ditanggung Gavi atas satu dosis Prevenar untuk negara miskin kurang dari Rp48 ribu. Namun vaksin itu dijual seharga Rp2,8 juta di AS.

Di Inggris, dua dosis vaksin HPV dijual seharga Rp5,8 juta. Sementara untuk jumlah yang sama, Gavi membayar sekitar Rp80 ribu.

Kecemasan pasar bebas

Jadi ada keuntungan yang lebih besar di pasar dengan pembeli kaya raya. Ini setidaknya dapat menutup ongkos pengembangan dan penelitian industri farmasi.

Asosiasi Industri Farmasi Inggris memperkirakan, pengembangan vaksin baru membutuhkan anggaran setidaknya Rp28,8 triliun.

"Jika kita membiarkan mekanisme pasar bebas menentukan, hanya orang-orang di negara kaya yang akan memililki akses terhadap vaksin Covid-19," kata Mark Jit, profesor di London School of Hygiene and Tropical Medicine.

"Kita menyaksikan fenomena itu pada masa lalu. Ini akan menyebabkan tragedi yang lebih besar jika situasi yang sama kembali terjadi," ujarnya.

Walau secara umum menghasilkan keuntungan yang tipis, perusahaan farmasi besar seperti Pfizer dan Merck menghasilkan 80% penjualan vaksin secara global, menurut data WHO. Maka perusahaan farmasi besar sebenarnya bisa lebih berperan dalam pengembangan vaksin virus corona.

"Mereka mungkin tidak mengembangkan ide awalnya, tapi merekalah yang mempunyai kemampuan finansial untuk membuat vaksin," kata Ana Nicholls, peneliti industri farmasi di Economist Intelligence Unit.

Konsensus

Inovio, misalnya, harus bermitra dengan perusahaan farmasi untuk meningkatkan produksi hingga ratusan juta dosis, seandainya vaksin berbasis DNA Covid-19 terbukti berhasil.

Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan besar di sektor ini secara terbuka sudah berjanji memberikan akses universal terhadap vaksin. GlaxoSmithKline (GSK) Inggris, salah satu perusahaan farmasi terbesar di dunia, terlibat dalam sejumlah kemitraan untuk mengembangkan vaksin Covid-19.

"Mengalahkan Covid-19 membutuhkan upaya bersama dari setiap pihak yang berada dalam bidang kesehatan," kata CEO GlaxoSmithKline, Emma Walmsley.

"Kami sangat yakin kolaborasi antara ilmuwan, pelaku industri, regulator, pemerintah, dan pekerja medis, akan melindungi publik dan menghasilkan solusi global terhadap pandemi ini," tuturnya.

Adapun Seth Berkley dari Gavi percaya, kesepakatan bersama adalah kunci mencegah ketimpangan imunisasi.

"Tentu saja akses terbuka tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Namun tentu tidak dapat dibiarkan bahwa akses terhadap vaksin ditentukan pada kemampuan mereka membayar," ujar Berkley.

"Jika kita tidak membantu negara yang paling membutuhkan vaksin ini, maka pandemi akan terus berlanjut," kata dia.

Baca laporan lengkap » Data, Fakta, dan Perkembangan Wabah Corona.

Related

Science 8832372760571458218

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item