Wabah Virus Corona, di Antara Kenyataan dan Pemberitaan Media (Bagian 2)

Wabah Virus Corona, di Antara Kenyataan dan Pemberitaan Media naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Wabah Virus Corona, di Antara Kenyataan dan Pemberitaan Media - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kalimat lain yang merujuk “80 persen” membahas 80 persen kematian di kota dengan polusi tinggi, sebanyak 80 persen korban meninggal yang menggunakan antibiotik, dan catatan lain yang tak memiliki hubungan dengan klaim The Global Review.

Sementara itu, terkait klaim kurang dari 1% orang yang meninggal tergolong sehat, ada klaim sama pada pemberitaan Bloomberg yang merujuk pada laporan dari lembaga kesehatan nasional Italia, Istituto Superiore di Sanità atau ISS. Laporan yang menggunakan data per 17 Maret 2020 itu menuliskan, sebanyak 0,8 persen pasien COVID-19 meninggal tanpa komplikasi penyakit lain.

Yang menarik, Swiss Propaganda Research tidak mencantumkan identitas dokter yang menuliskan catatan terkait COVID-19 di laman mereka. Swiss Propaganda Research juga tidak mencantumkan dengan jelas di laman resmi mereka, siapa orang-orang yang bekerja di lembaga tersebut.

Poin kedua adalah kematian akibat influenza di Amerika Serikat dari 1950 hingga 2017 yang mencapai 13,5 hingga 53,7 per 100.000 penduduk dan bersumber dari Statista.

Berdasarkan penelusuran, data yang disajikan Statista memang menunjukkan angka kematian berkisar di angka 13,5-53,7 per 100.000 penduduk. Namun, angka itu secara garis besar menunjukkan grafik penurunan dari 1950 ke 2017.

Pada 1950, angka kematian karena influenza mencapai 48,1 per 100.000 penduduk. Namun pada 2017, angka kematian menurun jadi 14,3 per 100.000 penduduk.

Fakta ketiga terkait angka kematian di AS per 24 April 2020 akibat COVID-19 yang mencapai 14,9 per 100.000 penduduk, dengan sumber dari worldmeters.info. Sudarto menuliskan, angka 14,9 tersebut menghitung kematian yang "kemungkinan" akibat COVID-19 serta kematian yang terkonfirmasi akibat COVID-19.

Namun, jika merujuk pada jumlah kasus dan kematian akibat kasus COVID-19 pada 24 April, dan melalui perhitungan "(Angka kematian/populasi pada tahun yang sama) x 100.000,” maka angka kematian yang didapat untuk AS adalah 15,24 per 100 ribu penduduk (estimasi jumlah penduduk 329,56 juta jiwa pada 2020).

Sebagai tambahan, sumber yang digunakan Worldometer untuk kasus COVID-19 di AS bersumber pada CDC. Selain itu, angka kematian yang ditampilkan di Worldometer sebagian besar merupakan angka kumulatif dari kasus terdeteksi (positif), bukan "kemungkinan" seperti yang diklaim Sudarto pada analisisnya di The Global Review.

Dengan demikian, jumlah kematian akibat COVID-19 di Amerika Serikat telah melebihi angka kematian akibat influenza pada 2017, yakni 15,24 dibanding 14,30 per 100 ribu penduduk. Kendati belum genap satu tahun, angka tersebut diprediksi masih akan terus naik.

Catatan tambahan, angka kematian akibat influenza di Amerika Serikat pada 2019 mencapai 10,42 per 100 ribu penduduk (proyeksi penduduk AS pada 2019 sebanyak 327,54 juta penduduk). Jauh lebih rendah dibanding angka kematian pada 2017.

Selanjutnya, Sudarto mencontohkan Swedia yang memiliki kondisi lebih baik dibanding negara Eropa lain yang menerapkan pembatasan ketat, kendati tidak "menutup ekonomi" selama pandemi COVID-19.

Perlu diketahui, per 27 April menurut pantauan John Hopkins, ada 18.640 kasus positif di Swedia, dan jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat. Jumlah kasus ini jauh lebih banyak dibanding Denmark (8.773 kasus) dan Polandia (11.617 kasus), negara tetangga mereka.

Per 9 April, menurut catatan Vox, rumah sakit di Swedia kewalahan menangani pasien yang sangat banyak, petugas kesehatan juga bekerja melebihi jam tugas mereka. Pemerintah kini mencari jalan untuk melakukan pembatasan lebih lanjut.

Masih dari Vox, peneliti memperkirakan sebanyak empat juta masyarakat Swedia—dari populasi sekitar 10 juta—pada akhirnya dapat tertular penyakit ini. Perdana Menteri Swedia, Stefan Löfven, sempat menyatakan bahwa "ribuan" orang di Swedia dapat meninggal karena COVID-19.

Menurut Quartz, kendati tidak menerapkan kebijakan pembatasan sosial yang ketat secara luas, Swedia tetap menerapkan pembatasan sosial secara terbatas. Selain itu, masyarakat Swedia juga menerapkan pembatasan sosial secara mandiri dengan disiplin.

Mengutip data Citymapper, Quartz melaporkan mobilitas di Stockholm berkurang hingga sekitar 75 persen. Perekonomian Swedia diperkirakan tetap akan terpukul.

Masih dari Quartz, Menteri Keuangan Swedia, Magdalena Andersson, mengatakan Produk Domestik Bruto (PDB) akan menyusut hingga 10 persen pada 2020. Sementara itu, pengangguran dapat naik menjadi 13,5 persen.

Kesimpulan 

Berdasarkan penelusuran fakta yang dilakukan, informasi yang disampaikan Sudarto dalam analisisnya di The Global Review bersifat salah sebagian dan menyesatkan (partly false & misleading).

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

Science 3001784964406301790

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item