Wabah Virus Corona, di Antara Kenyataan dan Pemberitaan Media (Bagian 1)

Wabah Virus Corona, di Antara Kenyataan dan Pemberitaan Media, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Pada 24 April lalu, situs Theglobal-review.com memuat sebuah artikel analisis berjudul “Ketakutan yang Diproduksi Media Lebih Mematikan dari COVID-19”. Tulisan itu mengklaim, arus pemberitaan yang deras terkait virus corona baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 di media arus utama telah menciptakan ketakutan dan kepanikan berlebih.

Sudarto Murtaufiq merupakan penulis artikel tersebut. Dalam keterangan di akhir tulisan, Sudarto disebut sebagai peneliti senior Global Future Institute. Sudarto mencurigai adanya 'bisnis terselubung' di balik pemberitaan COVID-19 yang begitu gencar.

Di laman ‘tentang kami,’ dituliskan bahwa Global Future Institute merupakan pemilik The Global Review. The Global Review mendukung dan menyebarkan isu-isu yang menjadi kajian Global Future Institute. The Global Review sendiri tidak terdaftar dan terakreditasi oleh Dewan Pers.

Artikel ini sendiri mencantumkan sejumlah 'fakta' mengenai COVID-19 yang diklaim berasal dari beberapa penelitian sebagai premis utama. Berikut isi poin-poin 'fakta' tersebut:

Fakta 1

Seperti dilaporkan oleh seorang dokter setelah meneliti data di Italia, bahwa 80% dari korban yang meninggal ternyata mempunyai dua atau lebih penyakit kronis, dan 90% dari yang meninggal berumur lebih dari 70 tahun. Selain itu, ‘Kurang dari 1% dari orang yang meninggal adalah tergolong sehat’ yaitu ‘orang tanpa penyakit kronis yang sudah ada sebelumnya’.

Mengingat Italia utara memiliki salah satu populasi tertua dan kualitas udara terburuk di Eropa, yang telah menyebabkan peningkatan jumlah penyakit pernapasan dan kematian di masa lalu, ini tidak diragukan lagi adalah faktor yang membantu menjelaskan krisis kesehatan di wilayah tersebut saat ini. 

Fakta 2

Kematian di AS akibat influenza dari 1950 hingga 2017 berkisar antara 13,5 hingga 53,7 per 100.000 (sumber statista.com). 

Fakta 3

Kematian di AS (informasi update kemarin, 24 April 2020) akibat Covid-19 adalah 14,9 per 100.000 (sumber worldmeters.info). Dan yang perlu menjadi sorotan kia sebenarnya bahwa jumlah ini termasuk kematian yang “kemungkinan” akibat Covid-19 serta kematian yang terkonfirmasi akibat Covid-19. 

Jadi, jumlah ini, kematian per kapita di AS akibat Covid-19 lebih rendah, daripada kematian per kapita akibat flu di hampir setiap tahun dari 1950 hingga 2017. Jumlah kematian tertinggi akibat flu per kapita terjadi pada tahun 1960. Kematian tahun itu mencapai 53,7 per 100.000, lebih dari tiga kali lebih tinggi dari kematian akibat Covid-19. 

Inilah faktanya. Silakan pembaca yang budiman melakukan pengecekan sendiri, atas fakta di atas. Secara kebetulan, tingkat kematian per kapita dari yang diberitakan oleh media “histeris” dan suka menyebutnya sebagai, “pandemi global” hanya 2,4 per 100.000. 

Model terbaru Satuan Tugas Virus Corona Gedung Putih memprediksi bahwa kematian akibat Covid-19 bisa mencapai 60.000. Saat ini tercatat di angka 49.000. Bahkan jika [perkiraan] angka itu [yang dimanipulasi] adalah dua kali lipat menjadi 98.000, itu masih akan jauh lebih rendah daripada semua kematian akibat flu per kapita dari tahun 1950 hingga 1998. 

Berdasarkan poin-poin itu, Sudarto mengkritik pemberitaan media-media arus utama. Ia berpendapat, respons terhadap krisis ini berlebihan dan malah menimbulkan kepanikan. Ia khawatir kepanikan global tersebut sengaja diciptakan kepentingan elite kapitalis dengan memanfaatkan organisasi dunia seperti WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), juga pemerintah, tenaga medis, dan perusahaan media.

Sudarto juga menyoroti perihal penerapan kebijakan social distancing untuk memutus persebaran COVID-19. Menurutnya, kebijakan itu melemahkan kekuatan ekonomi sebuah negara. Ia mengambil contoh Swedia sebagai negara yang sukses melawan COVID-19 tanpa mematikan ekonomi.

"Andaikan kita memberlakukan social distancing setiap kali virus muncul di masa lalu, negara kita Indonesia, mungkin tidak akan sampai pada tahap negara berkembang seperti saat ini. Justru masalahnya sekarang adalah, kebijakan pemerintah–yang paling mutakhir terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)–telah mendapatkan tanggapan yang beragam bahkan bertolak belakang antara satu dengan yang lain,” tulis Sudarto.

Penelusuran fakta 

Pada fakta pertama, Sudarto menulis “seorang dokter setelah meneliti data di Italia” sembari mengutip catatan dari lembaga bernama Swiss Propaganda Research.

Catatan penting, Swiss Propaganda Research tidak spesifik hanya menyebut data Italia saja.

Sudarto kemudian menuliskan, ‘80% dari korban yang meninggal ternyata mempunyai dua atau lebih penyakit kronis dan 90% dari yang meninggal berumur lebih dari 70 tahun’. Selain itu, 'Kurang dari 1% dari orang yang meninggal adalah tergolong sehat yaitu orang tanpa penyakit kronis yang sudah ada sebelumnya.'

Namun, pada situs Swiss Propaganda Research, angka 80% salah satunya hanya ditemukan pada kalimat “50% hingga 80% individu yang positif Corona tidak menunjukkan gejala.”

Baca lanjutannya: Wabah Virus Corona, di Antara Kenyataan dan Pemberitaan Media (Bagian 2)

Related

Science 3235261330644239061

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item