Ibu Orang Indonesia, Ayah Warga Malaysia, Anaknya Tak Punya Status Warga Negara (Bagian 2)

Ibu Orang Indonesia, Ayah Warga Malaysia, Anaknya Tak Punya Status Warga Negara naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Ibu Orang Indonesia, Ayah Warga Malaysia, Anaknya Tak Punya Status Warga Negara - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Menurut Abdul Rachman, seorang aktivis buruh migran yang mendampingi keluarga Tuah bin Osman, harapan tetap ada dengan melalui tahapan-tahapan, dimulai dengan uji DNA guna merevisi akta kelahiran.

"Bahwasanya bapak adalah ayah daripada anak ini, yang pastinya di Malaysia melalui DNA. Kalau sudah resmi bahwa bapak adalah ayah daripada anak ini, maka bapak akan saya dampingi untuk menuntut kepada pihak yang terkait memasukkan nama ayah di sijil kelahiran (akta kelahiran) ini," jelas Abdul Rachman.

Hanya saja, uji DNA memakan biaya tidak sedikit, sekitar 4.000 ringgit atau kira-kira Rp13 juta, dan fungsi hasil uji DNA itu hanya sebagai bukti pendukung.

Diakui pemerintah Malaysia bahwa proses pembuktian seorang anak berhak mendapat status warga negara atau tidak, memang memakan waktu. Belakangan, Menteri Dalam Negeri, Tan Sri Muhyiddin Yassin, mengatakan pemerintah telah bertekad mempercepat proses pengurusan kewarganegaraan mereka.

"Itu akan dilakukan sesuai dengan hukum, konstitusi dan prosedur standar yang telah ditempuh selama ini, dalam mempertimbangkan pemberian kewarganegaraan.

"Kita tidak bisa membandingkan satu kasus dengan lainnya. Mungkin saja kasusnya mirip, tapi sejatinya berbeda. Jadi yang kita perlu lakukan adalah mempercepat prosesnya," kata menteri yang dalam pemerintahan sebelumnya duduk sebagai wakil perdana menteri itu.

Hingga kini belum jelas bagaimana implementasi tekad itu di tataran pelaksanaan.

Adik-adik warga negara Malaysia

Seandainya, Tuan bin Osman, selaku ayah Efa Maulidiyah, mendaftarkan pernikahannya dengan Asma secara resmi, sebelum Efa lahir, maka nasibnya tentu akan berbeda.

Kedua adik Efa, lahir setelah pasangan itu menikah secara resmi di kota asal Asma, Surabaya. Mereka kini masing-masing berusia 10 dan 11 tahun, tercatat secara sah sebagai warga negara Malaysia tanpa kesulitan.

Di satu sisi, Asma tidak bersemangat mengurus kewarganegaraan putrinya atas dasar garis keturunan ibu sebagai WNI. "Kata orang, kalau bisa urus surat kelahiran, pasalnya emak dan bapaknya ada di sini. Kalau Efa jadi warga negara Indonesia, bagaimana?" demikian Asma beralasan.

Di tengah carut-marut pengurusan status kewarganegaraan, sebagaimana dialami Efa, jalan belum tertutup sepenuhnya jika ingin diurus mengikuti kewarganegaraan ibunya, kata Yusron Ambary, Kepala Fungsi Konsuler KBRI Kuala Lumpur.

"Banyak kasus di mana orang tua datang ke kami tanpa selembar dokumen apa pun. Tetap semua itu kita proses, kita bantu. Yang paling utama adalah kita akan melakukan wawancara mendalam kepada si ibu untuk memastikan status kewarganegaraan yang bersangkutan dan anak itu," jelas Yusron Ambary.

Karena ketiadaan dokumen hampir dipastikan menyulitkan pengurusan kewarganegaraan, maka sesuai instruksi Duta Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Rusdi Kirana, KBRI sejak tahun 2017 menggencarkan sosialisasi pendaftaran anak-anak keturunan WNI, tambahnya.

Ada dua dokumen yang biasanya diterbitkan KBRI, yang pertama adalah surat keterangan kewarganegaraan dan surat pengenal lahir.

"Dua dokumen inilah yang akan menjadi dasar bagi Atase Imigrasi untuk menerbitkan paspor mereka, surat kewarganegaraan," terang Yusron Ambary yang juga merangkap sebagai Koordinator Satgas Perlindungan WNI di KBRI Kuala Lumpur.

Lingkaran setan tanpa kewarganegaraan

Perbedaan status Efa Maulidiyah dan kedua adiknya kerap menimbulkan konflk dan kepedihan hati di lingkungan keluarga. Sebagai contoh, lima tahun lalu keluarga Efa mudik Lebaran ke Surabaya.

"Saya ditinggal sendiri. Emak, bapak, adik, semua balik kampung. Saya ditinggal sendiri. Pada Hari Raya pun saya sendiri, tidak ada orang tengok. Sangat, sangat sedih," ungkapnya seraya menambahkan kedua adiknya menikmati pendidikan di sekolah negeri secara gratis, sementara cita-citanya untuk menjadi pramugari atau perawat kandas.

Kesusahan Efa belakangan bertambah di saat ia tengah mengandung anak pertamanya. Si bayi akan masuk ke dalam lingkaran setan, lahir tanpa identitas resmi, dan mungkin pula akan besar tanpa akses pendidikan.

"Suami saya warga negara Indonesia yang tak ada apa-apa (tak punya dokumen), saya pun tak ada apa-apa. Saya takut nanti saya bersalin, anak saya pun tak ada apa-apa pula. Sama dengan nasib saya dan suami saya, lah. Berputar di situ juga," keluhnya.

Untuk saat ini, bagaimanapun, Efa merasa beruntung ada seorang dokter gigi yang awalnya memberikan pekerjaan sebagai petugas kebersihan di kliniknya, di kawasan Petaling Jaya, tak jauh dari rumah.

Melihat kemampuan dan potensi Efa, sang dokter melatihnya sebagai asisten, dan itulah pekerjaannya sekarang, sekalipun tidak resmi.

Kecuali pergi bekerja, Efa mengaku takut meninggalkan rumah, dan lebih banyak membantu ibunya memasak di dapur.

Meskipun sudah berstatus tanpa kewarganegaraan sejak lahir hingga umurnya sekarang 19 tahun, Efa tak ingin putus asa untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Malaysia, tanah kelahiran dan sekaligus satu-satunya negara di dunia yang dikenalnya.

Related

World's Fact 5563140288399190904

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item