Kasus Perkosaan Mei 1998: Tanpa Kabar dan Kepastian Setelah 22 Tahun

Kasus Perkosaan Mei 1998: Tanpa Kabar dan Kepastian Setelah 22 Tahun, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita F. Nadia, mengatakan banyak korban perkosaan pada peristiwa Mei 1998 mendapatkan tekanan untuk bungkam. Intimidasi itu bahkan ada yang berujung pada pembunuhan.

Intimidasi itu salah satunya dialami oleh seorang anak perempuan berumur 13 tahun dari Kemayoran, Jakarta. “Pamannya melaporkan bahwa dia adalah korban,” kata Ita dalam diskusi daring bertema Perkosaan Massal Mei ’98: Kapan Ada Pengadilan?.

Begitu laporan anak itu muncul, pihak keluarga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak. Tak tahan dengan tekanan itu, keluarga memutuskan memberikan racun serangga untuk diminum si anak. “Dia kemudian meninggal bukan karena perkosaan, tapi karena harus minum Baygon karena keluarganya ditekan.”

Mantan Direktur Kalyanamitra ini mengatakan, korban kedua yang dia dampingi ialah Ita Martadinata Haryono. Ita adalah siswa kelas 2 SMA, korban kekerasan seksual dalam kaitannya dengan kerusuhan Mei 1998.

Mendapatkan dukungan dari komunitas Budha Indonesia dan internasional, Ita Martadinata berencana menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya di sidang PBB. Tapi, menjelang kepergiannya ke PBB, dia dibunuh dengan cara sadis.

Menurut Ita, pembunuhan terhadap Ita Martadinata merupakan pesan ancaman kepada korban lainnya yang berani bicara kepada publik. Setelah peristiwa pembunuhan itu, Ita mengatakan banyak korban memilih diam. Pilihan untuk diam, kata dia, masih bertahan hingga sekarang.

Komunitas Budha yang awalnya memberi dukungan, kata dia, akhirnya juga memilih untuk tak mau membicarakan lagi perihal kerusuhan Mei 1998. “Kasus Ita Martadinata adalah pembungkaman secara politik dengan cara yang sangat sadis.”

Intimidasi yang menimpa para korban, untuk Ita menjadi salah satu alasan penuntasan kasus ini belum menunjukan titik terang hingga 22 tahun ini. Komisi Nasional Perempuan menyebutkan sikap komunitas korban belum berubah hampir satu dekade.

Sikap ini terus menerus terjadi karena negara absen memberikan perlindungan kepada korban. “Sikap membungkam korban sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada korban,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Asfinawati, mengatakan kasus perkosaan Mei 1998 tak mungkin diadili tanpa komitmen politik yang kuat dari pemerintah.

Komitmen itu, kata dia, sulit didapat selama pelaku yang diduga terlibat dalam rangkaian kekerasan di tahun 1998 masih duduk di pemerintahan. “Tanpa komitmen politik, tidak mungkin negara mau mengadili dirinya sendiri atau temannya yang menjadi bagian dari negara,” kata dia.

Related

Indonesia 3066894249517734499

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item