Nasib Kelas Menengah di Tengah Wabah Corona: Lepas Mobil dan Gadaikan Emas demi Bertahan Hidup
https://www.naviri.org/2020/05/nasib-kelas-menengah-di-tengah-wabah.html
Naviri Magazine - Melly (42) membayangkan dirinya bisa bermalas-malasan di atas kasur, sambil bermain sosial media dan mengurus putri semata wayangnya yang school from home karena PSBB akibat pandemi virus corona. Wajar saja, kehidupannya lumayan mapan, ditopang bisnis toko kue yang dirintisnya empat tahun terakhir.
Melly, yang menjadi tulang punggung keluarga sejak menyandang status janda, menolak disebut orang kaya. Tapi, ia juga tak pantas dikategorikan orang miskin.
Ia menggambarkan dirinya sebagai pekerja keras dan penikmat hidup dari kalangan kelas menengah. "Saya ingin, lewat toko kue kecil-kecilan ini, bisa menikmati hidup. Jalan-jalan keliling dunia," tuturnya.
Jauh panggang dari api. Faktanya, sepekan terakhir, Melly harus sibuk mondar-mandir ke kantor PT Pegadaian (Persero) di wilayah Bandung, tempatnya berdomisili.
Ia harus mengikhlaskan 50 gram perhiasan emas yang jadi simpanannya lebih dari lima tahun terakhir, demi membayar gaji empat karyawan. Termasuk menjalankan usahanya, serta membayar tagihan dan kebutuhan bulanan, seperti listrik, uang sekolah anak, makanan.
Setidaknya, ia harus menguras dompet Rp5 juta per bulan untuk membiayai kebutuhan bulanan tersebut. Di samping itu, Melly harus mempertahankan usahanya, meski ia pun terpaksa merumahkan enam karyawannya demi menekan biaya.
Harap maklum, pesanan berkurang. Sejak pandemi corona, omzet penjualannya hilang 70 persen dari kondisi normal.
"Sedih ya sedih. Semestinya tahun ini bebas utang, ya ampun ini malah menggadaikan emas 50 gram. Malah bertambah utangnya, di samping utang kartu kredit untuk bahan baku dari pemasok," ceritanya dengan suara bergetar.
Melly mengatakan, omzet 30 persen yang tersisa saat ini memang cukup berat. Hasil tersebut hanya cukup untuk sedikit operasional dan gaji karyawan. Cicilan alat masak memasak di toko kue yang harus dibayar ke bank saat ini belum ter-cover dari omzet.
"Toko tutup 26 Maret sampai 6 April. Tapi saya nggak kuat. Nggak ada pemasukan sama sekali. Akhirnya gadaikan emas, mulai lagi, saya jualan lewat online dan social media. Itu pun daya beli masyarakat benar-benar anjlok, jadi kami mengurangi produksi. Yang penting tetap jualan, deh," jelasnya lirih.
Cerita berbeda datang dari Angelina (38). Karyawan swasta yang bergaji Rp15 juta per bulan itu terpaksa melepas 'kunci' mobil pertamanya, karena tak sanggup lagi membayar cicilan ke multifinance.
Cicilan yang harus dibayar Rp5 juta per bulan, sementara biaya hidup di musim corona tak menyusut.
"Biaya hidup per bulan Rp10 juta, untuk bayar cicilan mobil, kartu kredit, listrik, makan, dan lain sebagainya. Sementara, karena work from home, ada biaya lain yang harus ditanggung, pulsa, internet. Di sisi lain, gaji saya dipotong, THR masih tak pasti, saya ajukan penundaan cicilan tak dikasih. Ya sudah, lepas kunci mobil," terang dia.
Perempuan berdarah Kalimantan ini harus merelakan gaji dipotong, sementara beban kerja ditambah. Maklum, beberapa rekan kerjanya dirumahkan. "Sedih, lah. Saya nggak pantas juga minta insentif dari pemerintah. Tapi saya harus bertahan, caranya ya lepas aset."
Cara lain, sambung Angelina, mengais kerja sampingan (side job) dari rekan-rekannya. Ia terpaksa bekerja 12 jam per hari demi mendapatkan uang tambahan. Setidaknya, lanjut dia, bisa menutup biaya pulsa, internet, dan kenaikan tagihan listrik di rumah.
Rentan miskin
Mengutip data Kementerian Keuangan pada Januari 2019, lebih dari 50 juta masyarakat masuk golongan kelas menengah dan 120 juta orang kategori kelas menengah harapan. Ini artinya, ada lebih dari 170 juta kelas menengah dari sekitar 250 juta penduduk RI.
Tentu tidak bisa dianggap remeh. Apalagi, eks menteri keuangan presiden ke-6 SBY, Chatib Basri, bilang kelas menengah menggerakkan ekonomi Indonesia. "Yang mendorong perekonomian itu adalah permintaan," imbuh dia.
Namun, Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah, bilang kelas menengah rentan miskin karena tekanan ekonomi dampak pandemi covid-19. Karenanya, ia menyarankan pemerintah untuk meracik bantuan khusus bagi masyarakat kelas menengah.
Bantuan khusus itu bukan lagi relaksasi kredit atau insentif pajak, melainkan berupa uang tunai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Untuk kelompok ini, bukan masalah cicilan utang. Persoalannya bagaimana bisa membeli kebutuhan pokok," jelasnya.
Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.