Kronologi Kasus Siti Fadilah Supari Hingga Penjatuhan Hukuman Penjara (Bagian 2)

Kronologi Kasus Siti Fadilah Supari Hingga Penjatuhan Hukuman Penjara, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kronologi Kasus Siti Fadilah Supari Hingga Penjatuhan Hukuman Penjara - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Fadilah pun meminta kepada Presiden Joko Widodo agar menegakan hukum dengan adil. Fadilah kemudian mengkritik kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Dia menuding, banyak kasus-kasus yang berat alias kasus-kasus kakap malah dibiarkan KPK. 

"Sedangkan, saya yang sebetulnya tidak bersalah, harus ditahan. Saya merasa dikriminalisasi. Ini tidak adil," ucapnya.

• Januari 2017, berkas perkara beserta barang bukti, dakwaan, dan Fadilah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta.

• 6 Februari 2017, Fadilah menjalani sidang perdana pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

• 31 Mei 2017, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK membacakan surat tuntutan atas nama Siti Fadilah. JPU menilai Fadilah terbukti melakukan dua delik korupsi.

Pertama, terbukti korupsi dalam pengadaan alkes flu burung DIPA tahun 2005 yang berubah menjadi DIPA 2006 dengan kerugian negara sebesar Rp 6.148.638.000, di mana Fadilah tidak memperoleh keuntungan atau tidak diperkaya tapi memperkaya pihak lain dan korporasi.

Kedua, terbukti menerima suap dengan total Rp 1,9 miliar dalam bentuk Mandiri Traveller Cheque (MTC) dari Rustam Syarifuddin Pakaya dan Sri Rahayu Wahyuningsih.

JPU menuntut Fadilah dengan pidana penjara selama 6 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, pidana denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti dari hasil suap yang diterima Rp 1,9 miliar subsider 1 tahun penjara. 

Menariknya, perkara Fadilah ditangani oleh JPU pada KPK yang dipimpin Ali Fikri. Sejak 27 Desember 2019 hingga kini, Ali bertugas sebagai pelaksana tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK setelah ditunjuk oleh pimpinan KPK.

• 6 Juni 2017, Fadilah mengembalikan uang Rp 1,35 miliar ke KPK meski sebelum-sebelumnya Fadilah membantah menerima suap.

• 7 Juni 2017, Fadilah membacakan nota pembelaan (pleidoi) sembari menangis dalam persidangan. Ada banyak materi yang diulas Fadilah.

Fadilah sampai bersumpah atas nama Allah s.w.t bahwa dia tidak melakukan korupsi, surat tuntutan yang disusun JPU tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan yang jelas, serta dia merasa terzalimi sejak perkaranya ditangani Bareskrim hingga ditangani KPK dan berujung di pengadilan. Pleidoi Fadilah juga disertai lampiran bukti pengembalian uang Rp 1,35 miliar ke KPK.

Dokter sekaligus ahli jantung ini mengungkapkan, tuntutan pidana penjara hingga pidana tambahan membayar uang pengganti sangat tidak wajar. Ada beberapa alasan. Pertama, pelaku lain yang merupakan mantan anak buah Fadilah yakni Mulya A Hasjmy hanya divonis dengan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan. 

Kedua, adanya keanehan tata cara proses pembuatan dakwaan sampai penuntutan, bahkan sejak dari penetapannya sebagai tersangka pun banyak yang janggal. Hal ini, menurut Fadilah, sangat melukai rasa keadilan dalam penegakan hukum. Sekali lagi, kata dia, terasa ada sesuatu yang dipaksakan dan ada yang diskenariokan.

"Tujuannya saya harus bersalah, saya harus dipenjara dan dengan cara dan alasan apa pun juga. Tersurat kepentingan hancurkan martabat mantan menteri seperti saya. Ada kelompok kepentingan yang tidak rela saya hidup tenang.

“Kenapa saya membahayakan, apa saya ganggu kepentingan kelompok mereka, siapa mereka? Saya bisa merasakan keberadaan mereka, tidak berdaya menghindar, mereka sangat berkuasa, berupaya keras agar saya salah dan kalah," tudingnya.

Fadilah menilai, jelas sekali untuk mencapai tujuan tersebut, maka banyak fakta persidangan penting yang sengaja diabaikan agar asumsi JPU seolah-olah menjadi alat bukti yang sah. Karenanya dia meyakini majelis hakim lebih objektif dari pada JPU.
"Saya yakin kecermatan hakim mampu membedakan asumsi, opini atau alat bukti," kata Fadilah.

Menurut Fadilah, dakwaan atau tuntutan pertama sengaja direkayasa dengan alat bukti yang disembunyikan. Sedangkan untuk dakwaan atau tuntutan kedua ihwal penerimaan suap sengaja dibangun dari putusan atas nama Rustam Syarifuddin Pakaya bahwa Fadilah sebagai saksi harus mengembalikan uang Rp 1,275 miliar, meskipun tidak ada data atau fakta hukum yang mendukung bahwa Fadilah menerima MTC senilai Rp 1,275 miliar.

Karenanya dakwaan atau tuntutan JPU bahwa Fadilah menerima MTC dengan total Rp 1,9 miliar adalah cerita fiktif dan penerimaan itu tidak ditemukan bukti apa pun atau JPU tidak memiliki bukti yang cukup.

"Cerita fiktif diciptakan oleh saksi yang disiapkan secara sistematis, sehingga membentuk opini bahwa saya menerima TC, dengan melibatkan keluarga saya. Saya sebenarnya tahu dan KPK tahu siapa yang bermain dalam kasus ini. Tetapi sekali lagi saya tidak salah, tetapi kalah. Menang atau kalah adalah opsi yang pasti dari sebuah perjuangan, dan saya sedang dalam posisi kalah walaupun saya benar," ujar Fadilah.

Fadilah meminta majelis hakim agar memutuskan, membebaskannya dari semua tuntutan JPU, segera mengeluarkannya dari tahanan, dan mengembalikan nama baiknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Pada 16 Juni 2017, majelis hakim Pengadilan Tipikor yang dipimpin Ibnu Basuki Widodo membacakan putusan atas nama Fadilah. Majelis menilai, Fadilah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik korupsi sebagaimana yang telah didakwakan dan dituntut JPU pada KPK.

Tapi untuk korupsi pengadaan, majelis menilai kerugian negara bukan sebesar Rp 6.148.638.000. Kerugian negara 'hanya' sebesar lebih dari Rp 5,783 miliar yang merupakan hasil keuntungan PT Mitra Medidua (suplier) yang diperkaya.

Sedangkan angka lebih Rp 364,678 juta yang diperoleh PT Indofarma Tbk tidak masuk kategori kerugian negara. Pasalnya PT Indofarma Tbk adalah perusahaan negara dan keuntungannya untuk negara.

Majelis lantas menghukum Fadilah dengan pidana penjara selama 4 tahun, pidana denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan, dan pidana tambahan membayar uang pengganti Rp 1,9 miliar dikurangi Rp 1,35 miliar ke negara melalui KPK atau uang pengganti hanya tersisa Rp 550 juta subsider pidana penjara selama 6 bulan.

Sesaat sebelum sidang putusan ditutup majelis, Fadilah berserta tim penasihat hukumnya maupun JPU mengatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari, apakah menerima putusan atau akan mengajukan banding.

Selepas sidang ditutup, Fadilah menyampaikan uneg-unegnya ke para jurnalis. Dia mengatakan, kemungkinan tidak akan mengajukan banding. Fadilah mengklaim ada keanehan atas fakta-fakta persidangan dan tuntutan. 

Dia sebenarnya berharap hakim akan memilih salah satu dakwaan yang terbukti. Tapi Fadilah sangat kaget ketika hakim memutuskan Fadilah terbukti dua dakwaan. Dia juga menyesalkan vonis pidana yang dijatuhkan kepadanya. Meski begitu Fadilah berjanji akan membayar, karena kalau tidak, pidananya akan ditambah.

"Ini Indonesia, biasanya begitu tuntutan, vonisnya dua perempat atau dua pertiga, saya sudah menduga dari awal. Saya sangat shock dan kecewa, fakta persidangan kok nggak dipakai. Kalau fakta persidangan dipakai tidak begini. Apa gunanya sidang berkali-kali dengan biaya negara, fakta persidangan tidak dipakai sama sekali," ucap

Pada 22 Juni 2017, jaksa eksekutor pada KPK melakukan eksekusi badan terhadap Fadilah ke Lapas Perempuan Kelas II Pondok Bambu untuk menjalani masa pidana penjara, setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Perkara inkracht dan eksekusi dilakukan karena Fadilah dan tim penasihat hukumnya menyatakan menerima putusan. Fadilah berjanji melunasi uang pengganti, dan karenanya JPU pun menerima putusan.

15 Mei 2018, Fadilah mendaftarkan/mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan pendahuluan PK digelar pertama kali di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 31 Mei 2018. Ada beberapa materi yang disodorkan Fadilah dan tim penasihat hukumnya sebagai novum baru dalam memori PK. 

Saat proses persidangan pendahuluan PK berlangsung, Fadilah juga menyinggung putusan perkara Mulya A Hasjmy (Mr. M). Dalam putusan itu, tidak tertuang Mulya melakukan perbuatan bersama-sama dengan Fadilah. Tapi saat penyelidikan dan penyidikan hingga vonis tingkat pertama terhadap Fadilah, Fadilah malah disebut melakukan perbuatan bersama-sama Mulya.

27 November 2018, majelis hakim agung PK pada Mahkamah Agung memutuskan menolak PK yang diajukan Fadilah.

Related

News 8602870044621783448

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item