Mengungkap Fakta di Balik Hoax Virus Corona yang Beredar di WhatsApp (Bagian 2)

Mengungkap Fakta di Balik Hoax Virus Corona yang Beredar di WhatsApp, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengungkap Fakta di Balik Hoax Virus Corona yang Beredar di WhatsApp - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Di tangan kita untuk membawa kebenaran dan harapan menyelamatkan banyak nyawa .... Itulah sebabnya gel anti bakteri bekerja dan klorindioksida ... Seluruh PANDEMI adalah karena mereka ingin vaksinasi dan chip untuk membunuh massa untuk mengendalikan mereka dan mengurangi Populasi Dunia. SEMOGA TUHAN MENYELAMATKAN KAMI ujar negara Itali 

Penelusuran fakta 

Informasi dengan beberapa klaim yang hampir serupa juga beredar India. Menurut penelusuran tim pemeriksa fakta di India Today, informasi ini pertama kali dipublikasikan oleh situs asal Nigeria, Efogator.com.

Situs asal Nigeria tersebut memang kerap menyebarkan informasi yang belum teruji kebenarannya. Situs web tersebut juga menuliskan “Terms of Use” yang memuat bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kesalahan apa pun yang ada di dalam konten mereka. Karena itu, besar kemungkinan informasi viral diambil dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Artikel Efogator menuliskan bahwa COVID-19 tidak disebabkan oleh virus, melainkan bakteri, dan bahwa antibiotik dapat menyembuhkan COVID-19. Menurut dokter spesialis Paru dari Max Hospital, India, dr. Sharad Joshi, masih dikutip dari India Today, informasi dari media sosial dapat menyesatkan orang dengan mudah.

Untuk mengetahui asal mula apakah COVID-19 berasal dari virus atau bakteri, kita dapat merujuk pada artikel di jurnal Lancet tentang karakterisasi genom dan epidemiologi virus corona baru berjudul “Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus origins and receptor binding.”

Artikel ini memaparkan 10 urutan genom 2019-nCoV (virus corona baru) yang diperoleh dari sembilan pasien ternyata sangat mirip. Lebih lanjut, 2019-nCoV memiliki kemiripan sebesar 88 persen dengan sindrom pernapasan akut (SARS) yang ditularkan dari kelelawar, namun sedikit berbeda dari SARS-CoV dan MERS-CoV.

Klaim selanjutnya bahwa penyebab kematian COVID-19 adalah (disseminated intravascular coagulation/DIC) atau trombosis (penggumpalan darah) dan bukan pneumonia. Merujuk artikel Nature, trombosis atau penggumpalan darah merupakan komplikasi yang ditemui pada pasien COVID-19.

Penelitian yang dilakukan di Belanda dan Perancis juga menemukan 20-30 persen kasus penggumpalan darah pada pasien kritis COVID-19. Inilah sebabnya mengapa WHO juga merekomendasikan penggunaan heparin dalam menangani pasien terduga COVID-19 untuk mencegah komplikasi terkait dengan “tromboemboli vena” atau penggumpalan darah di dalam tubuh.

Sementara itu, DIC adalah kondisi gangguan aliran darah yang ditandai dengan pengentalan darah yang berlebihan, dan menyebabkan sumbatan (trombus) di pembuluh darah pada berbagai organ.

Di Indonesia, kasus ini cukup jarang terjadi, hanya 15 ribu kasus per tahun. DIC harus selalu didahului oleh penyakit berat tertentu, dan tidak terjadi pada orang yang sebelumnya sehat-sehat saja.

Beberapa hal yang menyebabkan penggumpalan darah ini terjadi adalah infeksi yang berat, sepsis (peradangan di seluruh peredaran darah akibat infeksi kuman penyakit), peradangan pankreas (pankreatitis), kanker, komplikasi dalam kehamilan, cedera di otak dan saraf, luka bakar yang luas, gigitan ular berbisa dll.

Sejauh ini, trombosis atau penggumpalan darah hanya ditemui pada pasien kritis COVID-19 dan tidak menyerang semua penderita COVID-19.

Selanjutnya, Efogator juga menyebut ventilator dan Unit Perawatan Intensif (ICU) tidak diperlukan dalam merawat pasien COVID-19. Hal sebaliknya justru diutarakan para pekerja medis. Pasien COVID-19 dengan bawaan penyakit pernapasan kritis atau pasien yang mengalami kegagalan organ harus dirawat di ICU dan menggunakan ventilator.

Namun, tidak semua pasien COVID-19 membutuhkan ICU dan ventilator. Sergio Harari, direktur Unit Operasional Pneumologi di Rumah Sakit San Giuseppe di Milan, Italia, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar "Corriere della Sera" bahwa "Sebagian besar kematian disebabkan oleh pneumonia dan kegagalan pernapasan. Untuk mengatakan bahwa pasien tidak boleh diintubasi sama sekali adalah pernyataan yang salah."

Kesimpulan Informasi terkait COVID-19 yang tersebar di aplikasi pesan instan WhatsApp sebagian berasal dari situs Efogator. Sejumlah klaim di dalam informasi tersebut sifatnya salah dan menyesatkan (false & misleading).

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

Science 674299970337204820

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item