Penelitian Ilmiah Seputar Pentingnya Cuci Tangan untuk Kesehatan (Bagian 3)

Penelitian Ilmiah Seputar Pentingnya Cuci Tangan untuk Kesehatan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Penelitian Ilmiah Seputar Pentingnya Cuci Tangan untuk Kesehatan - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Rasa jijik

Terakhir, rasa jijik. Reaksi dimulai saat melihat sepotong stik yang penuh belatung mencegah Anda dari keinginan untuk memakannya. Demikian pula, menjauhi penumpang yang memegang tisu kotor di gerbong kereta api akan membantu kita untuk terhindar dari patogen mereka.

"Efeknya yang 'membuat kita menjauh' merupakan hal paling berguna," kata Dick Stevenson, psikolog dari Macquarie University, Australia.

Bahkan simpanse, yang kerap terlihat memakan kotoran mereka sendiri di kebun binatang, merasa jijik oleh cairan tubuh individu lain—menunjukkan bahwa rasa jijik bukan sekadar produk budaya manusia, tetapi sesuatu yang berevolusi untuk melindungi kita.

Dan seperti setiap emosi lainnya, seberapa besar rasa jijik yang dirasakan bervariasi dari orang ke orang.

Rasa jijik adalah kekuatan tersembunyi dalam hidup kita, mendorong keputusan politik kita - orang yang lebih sensitif terhadap rasa jijik lebih cenderung memilih partai konservatif - serta apakah kita menerima orang gay, seberapa xenofobik kita, dan mungkin bahkan seberapa takut kita pada laba-laba.

Seperti yang Anda duga, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa orang yang tidak mudah jijik lebih jarang mencuci tangan, dan ketika mereka melakukannya, mereka tidak berlama-lama di bawah keran.

Satu studi tentang mencuci tangan di Haiti dan Ethiopia mendapati bahwa pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang urusan kesehatan tidak begitu relevan dengan kecenderungan mereka mencuci tangan dibandingkan kekuatan rasa jijik mereka.

Menjaga kebersihan

Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi bias ini?

Dalam beberapa pekan terakhir, badan-badan kesehatan masyarakat, badan amal, politisi, dan anggota masyarakat bersama-sama meluncurkan kampanye cuci tangan yang mungkin paling antusias dalam sejarah.

Para selebritas turun tangan untuk menunjukkan teknik yang tepat, dan banyak meme tentang cuci tangan membanjiri internet.

Tetapi, mengingat apa yang kita ketahui tentang bias psikologis, akankah upaya-upaya yang baik dan kadang-kadang cerdik ini benar-benar membuat orang yang tidak suka mencuci tangan menjadi sadar?

Alih-alih membuat mencuci tangan terkesan lucu atau seksi, salah satu penelitian berusaha memanfaatkan rasa jijik.

Pada tahun 2009, bersama dengan rekan-rekan dari Universitas Macquarie, Stevenson menguji ide ini pada beberapa mahasiswa.

Setelah ditanyai tentang kebiasaan mencuci tangan dan sensitivitas mereka terhadap rasa jijik, para mahasiswa diminta untuk menonton salah satu dari tiga video: video yang murni mengedukasi, video berisi visual yang menjijikkan, dan kontrol—klip dari sebuah film dokumenter alam yang tidak relevan.

Sekitar sepekan kemudian, para mahasiswa diminta kembali, dan diminta duduk di depan sebuah meja yang di dekatnya disimpan tisu antibakteri dan jel pembersih tangan.

Mereka dihadapkan dengan serangkaian benda yang sangat tidak higienis—dari alat tepuk lalat hingga sikat toilet bekas.

Setelah memegang setiap benda, mereka diminta memakan biskuit dari sebuah piring. Apakah para relawan mencuci tangan mereka sebelum menyentuh makanan?

Seperti yang mereka harapkan, para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang menonton video jijik lebih cenderung membersihkan tangan mereka daripada orang-orang dari kelompok lain—bahkan, mereka lebih banyak mencuci tangan daripada kedua kelompok lainnya.

Belum ada yang tahu sampai berapa lama kebiasaan cuci tangan ini akan bertahan, namun penelitian ini menunjukkan bahwa sekadar menyuruh orang untuk melakukannya tidak seefektif membuat mereka merasa jijik.

Kebiasaan baik

"Ini pertanyaan penting karena pada awalnya Anda harus terus memotivasi orang tersebut untuk mencuci tangan dalam situasi tertentu, seperti melalui iklan dan papan pemberitahuan," kata Stevenson.

"Tapi jika ini terus dipertahankan, maka perilakunya menjadi kebiasaan. Yang tidak kita ketahui adalah berapa lama sampai hal ini terjadi."

Aunger setuju bahwa membangun kebiasaan adalah kuncinya.

"Kita memiliki konteks yang sangat istimewa sekarang, ketika banyak orang tertarik untuk mencuci tangan karena virus corona," katanya. "Tapi pertanyaannya adalah, bisakah kita naik ke tingkat yang sangat tinggi dan tetap di sana?"

Apa pun efek jangka panjang Covid-19, setidaknya untuk sementara kita tidak akan mendengar lagi para selebritas yang membual tentang betapa mereka tidak suka mencuci tangan.

Baca laporan lengkap » Semua Hal tentang Virus Corona, di Indonesia dan Dunia.

Related

Science 5418513405788740102

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item