Ajaran-ajaran Kuno tentang Kebijaksanaan Menghadapi Masa Sulit (Bagian 2)

Ajaran-ajaran Kuno tentang Kebijaksanaan Menghadapi Masa Sulit, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Ajaran-ajaran Kuno tentang Kebijaksanaan Menghadapi Masa Sulit - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Laozi dan kepercayaannya pada Tao atau Dao juga dianggap sebagai dasar ajaran Konfusius. Seiring waktu, para ahli terus berupaya meneliti asal usul kemunculan Tao Te Ching. Selama itu, teks yang ada terus diterjemahkan ke berbagai bahasa, eksis seiring zaman, dan dijadikan panduan dalam menghadapi tantangan hidup seperti saat ini.

Quartz menyebut bahwa membaca teks Tao Te Ching bisa membantu seseorang dalam melalui masa stres akibat pandemi. Fenomena stres massal ini bukan fiktif.

Berbagai penelitian yang ada telah menyebutkan bahwa salah satu gelombang otak, amygdala, bisa aktif dan memicu reaksi psikosomatis manakala seseorang menerima informasi yang kurang berkenan. Dan pada individu yang berada dekat dengan sumber stres berpotensi dilanda gangguan kecemasan dan psikosomatis lebih besar.

Pujian dan kritik terkait stoik

Kembalinya ajaran-ajaran kuno tentang kebijaksanaan ini terjadi sejak dua tahun belakangan dan tidak hanya berlaku pada masa-masa krisis seperti pandemi. Fenomena burnout, ritme hidup serba cepat dengan tuntutan tinggi jadi penyebab lain dari pencarian ulang ajaran-ajaran kuno.

New York Times pernah menjelaskan bahwa fenomena ini sempat terjadi pada sejumlah pejabat di Silicon Valley yang mempraktikkan nilai-nilai ajaran stoikisme. Demikian pula dengan seorang koresponden New Yorker yang mengisahkan bagaimana pola pikir stoik berhasil membantunya dalam melalui hari-hari yang penuh tantangan.

Lalu ada pula analisis di The Conversation yang ditulis John Stellars, dosen filsafat dari Royal Holloway, yang menyebut bahwa bila ingin hidup bahagia, seseorang bisa coba menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai stoik selama satu minggu.

Pada intinya, ide ajaran stoik adalah menyadari bahwa manusia tidak mampu mengontrol semua hal. Hal yang paling bisa dikontrol adalah pikiran dan respons terhadap kejadian yang terjadi dalam hidup.

Ajaran ini muncul di Yunani pada abad ke-3 SM. Beberapa filsuf yang mengamalkan ajaran ini di antaranya adalah Zeno, Epictetus, Seneca, Cicero, dan yang paling tersohor adalah Marcus Aurelius.

Dalam Marcus Aurelius: A Biography (1993), Anthony Birley menyebut bahwa Aurelius mendapat ajaran tentang stoikisme dari beberapa kawan dekatnya yang juga merupakan pejabat negara Romawi kuno. Aurelius lalu mencoba menerapkan konstitusi yang dibuat berdasarkan kebebasan berpendapat dan kesetaraan.

Birley menulis:

“Ia belajar untuk berbuat baik terhadap sesama dan menolong sesama. Untuk percaya kasih dari kawan-kawan, untuk berani jujur dan terbuka terhadap mereka yang tidak sependapat dengannya. Ia juga belajar tentang kebaikan dan bagaimana hidup selaras dengan alam semesta. 

“Menoleransi mereka yang punya pendapat berbeda. Kesiapan untuk beradaptasi dengan sesama, menghormati sesama. Berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahan dan berbagai emosi lainnya dan menjalani segalanya tanpa emosi. Memuja keheningan dan terus belajar.”

Aurelius percaya, hal yang paling penting adalah mencapai kebijakan dan segala bentuk emosi adalah hal yang mesti dihindari. Untuk itu, ia pun berupaya mengasah kemampuan tersebut dengan bermeditasi.

Hanya saja, berbagai ajaran positif tersebut tentu tak lepas dari kritik.

Dalam laporan Quartz, Skye Cleary, dosen filsafat Colombia University, menyebut ada banyak ketidaksempurnaan dalam stoikisme. Terutama pada zaman sekarang ketika konteks mengenai apa yang bisa dan tidak bisa dikontrol, telah jauh berubah.

Menurut Cleary, bila seseorang mau bertindak secara kolektif maka ia mampu berbuat banyak hal dalam memerangi ketimpangan dan diskriminasi. Hal tersebut nantinya bisa menimbulkan efek yang besar. Sementara di mata Cleary, ajaran stoikisme rentan membuat orang jadi pasrah dan diam.

Filsuf dari Universitas Cambridge, Sandy Grant, menyebut bahwa ajaran stoikisme sudah tidak relevan. Hal yang harus jadi fokus bukanlah pada hal apa yang bisa dikontrol melainkan apa yang bisa kita perbuat dalam dunia yang membuat relasi satu sama lain begitu interdependen.

Kritik lain datang dari penulis Ryan Holiday. Ia menganggap ajaran para filsuf stoikisme adalah ide-ide untuk mengakhiri penderitaan, kegelisahan, dan kecemasan dalam level individu bukan kelompok. Selain itu, Holiday juga menganggap stoikisme sebagai "life hack" ketimbang sebuah ajaran filsafat.

Anda mungkin bebas menuruti pendapat mana pun yang menurut Anda benar. Yang pasti WHO pun mengimbau agar Anda tetap melakukan langkah-langkah guna mengusir kecemasan di masa pandemi.

Related

Science 2918141748683298987

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item