DPR: Negara Jangan Diam Saat Rumah Sakit Ambil Keuntungan dari Tes PCR

DPR: Negara Jangan Diam Saat Rumah Sakit Ambil Keuntungan dari Tes PCR, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Tes swab PCR (polymerase chain reaction) menjadi sarana tes paling ampuh untuk mendeteksi seseorang tertular virus corona atau tidak. Tapi sayangnya untuk tes ini masyarakat mesti mengeluarkan uang jutaan rupiah.

Kondisi itu membuat anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo bersuara. Dia meminta negara hadir dan bertindak powerful dalam pengadaan reagen, bahan kimia yang dibutuhkan untuk mendeteksi COVID-19 melalui tes PCR. 

"Saya mengatakan negara harus powerful, agar tak ada pihak-pihak yang aji mumpung, meraup keuntungan di tengah pandemi ini," kata Rahmad Handoyo dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta.

Rahmad Handoyo menyoroti pengadaan reagen, karena dugaan mahalnya biaya tes PCR yang banyak dikeluhkan masyarakat, tidak terlepas dari ulah pihak-pihak tertentu yang justru memanfaatkan momen wabah COVID-19 untuk meraup keuntungan.   

"Dugaan itu mungkin saja benar mengingat tarif yang dipatok rumah sakit swasta atau poliklinik yang melayani tes PCR mandiri disparitas harga berbeda-beda," katanya.
PCR kit buatan Indonesia

Menurut Rahmad, dalam situasi krisis seperti saat ini, pebisnis tidak boleh mencari untung yang tidak masuk akal. Justru, katanya, semua pihak mestinya saling bahu-membahu meringankan beban rakyat.

"Makanya saya katakan, negara harus powerful dalam pengadaan reagen. Karena bahan kimia yang sangat vital tersebut selalu dibuat sebagai alasan sehingga biaya tes PCR mahal," katanya.

Rahmad mengakui, reagen memang relatif mahal dan sulit diperoleh, mengingat saat ini bahan kimia tersebut menjadi rebutan negara-negara di dunia yang dilanda badai COVID-19. Apalagi, katanya, Indonesia sendiri masih mengimpor dari negara produsen, yakni Korea Selatan dan China.

“Reagen itu memang mahal dan sulit dicari sehingga pihak swasta juga diizinkan untuk mengimpor. Karena itulah pemerintah harus hadir, memperhatikan besaran tarif tes PCR yang dipatok rumah sakit,” kata Rahmad Handoyo.

Kalau biaya tes PCR mahal, tambah Rahmad, masyarakat yang mengalami gejala COVID-19, seperti demam atau sesak napas, tentunya enggan untuk melakukan tes PCR secara mandiri.

"Akibat krisis ini, banyak masyarakat yang merasa berat, (akhirnya) membayar biaya rapid test yang jauh lebih murah dibanding tarif tes PCR yang mencapai dua hingga tiga jutaan (rupiah)," ungkap politikus PDIP ini.

Legislator asal Boyolali, Jawa Tengah, ini mengakui rumah sakit swasta tidak mungkin terlepas dari hitungan bisnis.

"Ya benar, bisnis tentu saja boleh saja. Tapi biaya tes PCR jangan sampai tak terjangkau. Kasihan masyarakat jadi terbebani," katanya.

Rahmad berpendapat, ada baiknya, ke depan pengadaan reagen hanya dilakukan gugus tugas, bukan pihak swasta. "Agar terhindar dari kepentingan bisnis yang berlebihan," ungkap Rahmad.

Selama ini masyarakat mengeluhkan tingginya biaya tes PCR. Rumah sakit swasta maupun poliklinik yang membuka layanan PCR mandiri, mematok tarif yang beragam. Berkisar antara Rp 2 juta hingga 3 juta. 

Karena tarif yang berbeda itu pula, pemerintah pusat berencana untuk menyeragamkan biaya pemeriksaan swab melalui PCR. Presiden Jokowi dalam rapat terbatas awal Juni lalu mengatakan pentingnya standardisasi harga tes PCR. Tapi niat baik tersebut belum terlaksana.

Related

News 8862165026839960998

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item