Mengukur Dampak yang Terjadi, Bila RI Terjerat Resesi Ekonomi Akibat Corona (Bagian 1)

Mengukur Dampak yang Terjadi, Bila RI Terjerat Resesi Ekonomi Akibat Corona, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Ancaman resesi ekonomi karena virus corona kian nyata mendekat ke Indonesia. Pasalnya, ekonomi dalam negeri diprediksi minus pada kuartal II 2020 akibat pandemi tersebut.

Apabila pertumbuhan minus tersebut berlanjut pada kuartal selanjutnya, dipastikan Indonesia sudah terperangkap resesi ekonomi.

Maklum, kalau merujuk definisi, sebuah negara disebut mengalami resesi bila ekonominya mengalami kontraksi pertumbuhan selama dua kuartal berturut-turut. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi hingga minus 3,8 persen pada kuartal II 2020.

Kontraksi terjadi karena pemerintah mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) demi mempersempit penyebaran virus corona pada Maret lalu. Dengan berlakunya PSBB, praktis banyak aktivitas masyarakat di luar rumah berhenti.

Akibatnya sudah bisa ditebak; ekonomi lumpuh.

"Di kuartal II ini, kita akan menghadapi tekanan yang tidak mudah. Kemungkinan kita akan menghadapi kondisi pertumbuhan ekonomi negatif, estimasi dari BKF (Badan Kebijakan Fiskal) 3,8 minus," ujarnya Jumat (19/6) pekan lalu.

Agar ancaman resesi tak kian mendekat, bendahara negara telah mempersiapkan sejumlah skema penyelamatan. Pandangan optimis, jika upaya itu sukses yakni ekonomi Indonesia bisa tumbuh positif pada kuartal III 2020.

Walaupun, pertumbuhan hanya di kisaran 1,4 persen. Dengan pertumbuhan itu, Indonesia berarti terlepas dari jerat resesi lantaran hanya mengalami kontraksi pada kuartal II 2020.

Secara bersamaan, bendahara negara turut mempersiapkan skenario ekonomi Indonesia jatuh hingga minus 1,6 persen pada kuartal III 2020. Itu berarti, Indonesia mengalami resesi ekonomi.

"Kami berharap kuartal III dan kuartal IV 2020 (pertumbuhan ekonomi) 1,4 persen atau kalau dalam negatif bisa minus 1,6 persen. Itu technically bisa resesi kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk zona resesi," ungkapnya beberapa waktu lalu.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede berbagai upaya memang harus ditempuh pemerintah karena resesi ekonomi bukan sekadar simbol angka negatif pertumbuhan ekonomi semata. Lebih dari itu, resesi ekonomi memiliki dampak nyata kepada masyarakat.

Dampak paling nyata adalah bertambahnya jumlah pengangguran. Alasannya, pertumbuhan ekonomi minus seringkali ditandai dengan perlambatan produktivitas sektor produksi.

"Kalau produktivitas turun berarti kapasitas produksinya rendah, sehingga perusahaan harus me-lay off (Pemutusan Hubungan Kerja/PHK) tenaga kerja," ujarnya.

Masalah pengangguran tersebut sebetulnya sudah bisa dilihat mulai saat ini. Walau resesi belum terjadi, angka pengangguran sudah mulai meningkat.

Peningkatan tercermin dari keputusan sejumlah perusahaan melakukan PHK karyawan mereka. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan di tengah pandemi Covid-19 mencapai 2,9 juta per awal Mei.

Data berbeda disampaikan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Hasil rekaman mereka menunjukkan jumlah pekerja yang terkena PHK akibat virus corona sudah mencapai 6,4 juta orang.

Angka itu didapat berdasarkan laporan berkala yang disampaikan berbagai asosiasi usaha kepada Kadin. Josua memperkirakan jumlah karyawan PHK dan dirumahkan bakal meningkat apabila ekonomi mengalami resesi.

Ia melanjutkan peningkatan jumlah pengangguran tersebut bisa berdampak pada kenaikan angka kemiskinan  karena mereka tidak mengantongi pendapatan lagi.

"Dampak sosialnya karena lapangan kerja berkurang, maka pendapatan turun," katanya.

Korelasi antara kontraksi pertumbuhan ekonomi dengan jumlah pengangguran bisa dilihat di sejumlah negara seperti AS dan Inggris. AS misalnya, pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi tercatat minus 4,8 persen.

Sejalan dengan kondisi itu, lebih dari 44,2 juta orang mengajukan tunjangan pengangguran sejak pertengahan Maret lalu hingga pertengahan Juni.

Dari dalam negeri, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya telah memprediksi lonjakan pengangguran dan kemiskinan akibat pandemi. Skenario berat jumlah pengangguran bertambah 2,9 juta orang dan skenario lebih berat naik 5,2 juta orang. Padahal, selama lima tahun terakhir angka pengangguran berhasil ditekan.

Serupa, ia memprediksi jumlah penduduk miskin bertambah akibat pandemi. Dalam skenario berat, penduduk miskin naik 1,1 juta orang dan dalam skenario lebih berat tambahan penduduk miskin mencapai 3,78 juta orang.

Josua sendiri memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi sekitar 3 persen, atau lebih optimis ketimbang prediksi pemerintah. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi negatif dipicu kontraksi komponen sisi pengeluaran seperti konsumsi rumah tangga dan investasi.

Namun, ia meramal perekonomian mulai pulih pada kuartal III 2020 sejalan dengan bergeraknya kembali aktivitas perekonomian serta dampak stimulus-stimulus pemerintah bagi masyarakat.

"Dilihat dari konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dari perekonomian akan cenderung mengalami pertumbuhan negatif dibandingkan dengan tahun sebelumnya," tuturnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menambahkan dampak resesi ekonomi lainnya adalah deflasi akibat jatuhnya daya beli masyarakat.

"Kalau ujungnya deflasi, pemulihan ekonomi bisa lambat karena daya beli masyarakat rendah sekali," ungkapnya.

Baca lanjutannya: Mengukur Dampak yang Terjadi, Bila RI Terjerat Resesi Ekonomi Akibat Corona (Bagian 2)

Related

News 5248477407011605899

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item