Satu-satunya Cara Lepas dari Resesi Ekonomi Hanyalah Basmi Virus Corona!

Satu-satunya Cara Lepas dari Resesi Ekonomi Hanyalah Basmi Virus Corona! naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Isu resesi yang sejak tahun lalu mulai bergema akhirnya menjadi nyata di tahun ini. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang berlangsung sejak pertengahan 2018 membuat perekonomian global melambat pada tahun lalu, dan muncul ancaman resesi.

Di awal tahun ini, AS-China mencapai kesepakatan dagang fase I, sehingga harapan akan kebangkitan ekonomi semakin membuncah. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian global semakin cepat merosot hingga beberapa negara masuk jurang resesi. Penyebabnya, virus corona.

Virus yang berasal dari kota Wuhan China tersebut menjadi pandemi. Penyakit akibat virus corona (Covid-19) menginfeksi lebih dari 200 negara dan wilayah di dunia, nyaris tidak ada tempat yang besar dari virus corona. Berdasarkan data Worldometer, hingga saat ini jumlah kasus Covid-19 di dunia sudah lebih dari 14,45 juta orang.

Guna meredam penyebaran virus corona, negara-negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) hingga karantina wilayah (lockdown). Akibatnya roda perekonomian melambat bahkan nyaris mati suri, sehingga masuk ke jurang resesi.

Jepang menjadi negara maju pertama yang mengalami resesi di tahun ini. Negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia ini mengalami resesi di kuartal I-2020. Produk domestic bruto (PDB) dilaporkan minus 1,7% year-on-year (YoY), setelah minus 0,7% YoY pada kuartal IV 2019.

Ketika PDB suatu negara minus dalam 2 kuartal beruntun secara YoY maka dikatakan mengalami resesi. Sementara jika minus secara kuartalan atau quarter-to-quarter (QtQ) dikatakan sebagai resesi teknikal.

Yang terhangat tentunya dari negara tetangga, Singapura yang resmi mengalami resesi di pekan ini.

Pemerintah Singapura pada hari Selasa melaporkan perekonomian mengalami kontraksi di kuartal II-2020. Tidak tanggung-tanggung produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2020 berkontraksi alias minus 41,2% QtQ setelah minus 3,3% di kuartal I-2020. Kontraksi pada periode April-Juni tersebut lebih buruk dari konsensus di Trading Economic sebesar -37,4%.

Sementara secara tahunan PDB minus 12,6% YoY, juga lebih buruk dari konsensus minus 10,5% YoY. Tidak hanya lebih buruk dari konsensus, PDB tersebut juga terburuk sepanjang sejarah Negeri Merlion. Di kuartal I-2020, PDB mengalami kontraksi tipis -0,3% YoY.
Sehingga, Singapura sah mengalami resesi. Terakhir kali Singapura mengalami resesi pada tahun 2008 saat krisis finansial global.

Berikutnya, "hantu" menargetkan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, Amerika Serikat. AS akan melaporkan data PDB pada Kamis 30 Juni nanti.

Di kuartal I-2020, perekonomian AS mengalami kontraksi 5%, sementara di kuartal II-2020, hasil polling Reuters menunjukkan PDB diprediksi berkontraksi 32,4%, benar-benar nyungsep. Sehingga hanya keajaiban yang luar biasa yang bisa membuat AS lepas dari resesi di kuartal II-2020 ini.

Dalam siklus ekonomi, resesi merupakan hal yang biasa terjadi. Negara sekelas Amerika Serikat saja sudah mengalami 33 kali resesi. Tetapi di tahun ini, resesi terjadi tidak seperti biasanya, karena menghantam banyak negara.

Resesi yang paling segar di ingatan tentunya pada tahun 2008 saat terjadi krisis finansial global. AS kala itu menjadi episentrum krisis dan mengalami kontraksi PDB dalam 4 kuartal beruntun. Indonesia kala itu masih lolos dari resesi, tetapi kali ini risiko PDB minus 2 kuartal beruntun menjadi cukup tinggi.

Resesi sebenarnya terjadi saat kuartal berjalan, rilis data PDB hanya menjadi "pengesahan" negara tersebut mengalami resesi. Artinya, jika AS nanti sah mengalami resesi saat rilis data PDB 30 Juni nanti, sebenarnya kemerosotan ekonomi sudah terjadi sepanjang April-Juni.

Melansir The Balance, ada 5 indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni produk domestic bruto (PDB) riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.

Seperti disebutkan sebelumnya, data PDB AS baru akan dirilis pada Kamis (30/7/2020), yang akan menjadi "pengesahan".

Sementara itu, 4 indikator lain bisa menunjukkan dampak buruk dari resesi itu sendiri.

Pertama tentunya dari segi pendapatan warga AS yang merosot, hal itu bisa dilihat dari data rata-rata upah per jam yang dirilis setiap awal bulan.

Data yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan rata-rata upah per jam mengalami penurunan 1,2% month-on-month (MoM) di bulan Juni, di bulan sebelumnya juga turun 1% MoM, meski di bulan April terjadi peningkatan 4,7% MoM.

Indikator lainnya, tingkat pengangguran, juga mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah AS, 14,7%, di bulan April. Meski dalam 2 bulan terakhir sudah kembali menunjukkan penurunan. Pada bulan Juni, tingkat pengangguran AS berada di level 11,1%.

Kala perekonomian merosot, aktivitas bisnis juga tentunya menurun dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tak terelakkan.

Lonjakan tingkat pengangguran AS terbilang ekstrim di tahun ini, sebabnya kebijakan lockdown yang diterapkan sehingga dampak resesi menjadi bias.

Lonjakan tingkat pengangguran di tahun 2008 hingga 2009 bisa menjadi gambaran buruknya dampak resesi ke pasar tenaga kerja.

Pada Januari 2008, tingkat pengangguran di AS berada di level 5%, setelahnya terus mengalami peningkatan hingga menjadi 9,9% di bulan November 2009.

Lonjakan tingkat pengangguran tentunya akan menimbulkan efek domino ke perekonomian.

Indonesia belum mengalami resesi, tetapi di kuartal II-2020 PDB diramal minus. Sebelum resmi diumumkan minus, sektor tenaga kerja juga sudah terpukul lebih dulu.

Berdasarkan data Kemenaker per 27 Mei 2020, pekerja sektor formal yang dirumahkan mencapai 1.058.284 pekerja dan yang di-PHK sebanyak 380.221 orang pekerja. Sedangkan pekerja informal yang terkena dampak, dirumahkan dan PHK mencapai 318.959 orang, sehingga totalnya ada 1.757.464 orang dirumahkan dan PHK. Sedangkan versi Kadin Indonesia jumlahnya sudah mencapai 6-7 juta pekerja.

Guna membangkitkan perekonomian, bank sentral di berbagai belahan dunia menerapkan kebijakan moneter ultra longgar, suku bunga dipangkas dan program pembelian aset (quantitative easing) digelontorkan. Sementara dari pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal.

Tetapi, kebijakan tersebut akan sulit untuk memacu pertumbuhan ekonomi jika virus corona masih belum bisa dibasmi atau setidaknya diredam penyebarannya. Sebab jika virus corona masih belum diredam risiko lockdown kembali diterapkan menjadi cukup tinggi pemulihan ekonomi pun akan berlangsung semakin lama.

Kota Melbourne di Negara Bagian Victoria Australia, dan Negara Bagian California di Amerika Serikat menjadi contoh bagaimana bahayanya virus corona jika dibiarkan leluasa. 2 wilayah tersebut akhirnya kembali menerapkan kebijakan lockdown.

Ketika virus corona bisa diredam, niscaya resesi pun akan hilang. China menjadi contoh nyata.

Memang China belum mengalami resesi karena kontraksi ekonomi baru terjadi di kuartal I-2020 saja. Tetapi kontraksinya sangat dalam, 6,8% YoY, terparah sepanjang sejarah. Negeri Tiongkok langsung bangkit di kuartal II-2020 dengan membukukan pertumbuhan ekonomi 3,2% YoY.

Itu artinya, perekonomian Negeri Tiongkok membentuk kurva V-Shape, artinya merosot tajam, sebelum berhasil bangkit dengan cepat.

China memang sudah "menang" melawan virus corona, jumlah penambahan kasus per harinya sudah berhasil ditekan. Dalam satu bulan terakhir, penambahan kasus tak pernah lebih dari 30 orang per hari, bahkan cenderung penambahannya di bawah 10 orang.

China sebelumnya sempat dikhawatirkan akan mengalami serangan virus corona gelombang kedua, dengan ibu kota Beijing yang menjadi hotspot. Tetapi China sekali lagi membuktikan sukses meredam Covid-19, sehingga perekonomiannya berhasil bangkit.

Related

News 7237585853475075455

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item