Sejarah Lahirnya Pancasila di Zaman Soekarno, hingga Kontroversi RUU HIP (Bagian 2)

Sejarah Lahirnya Pancasila di Zaman Soekarno, hingga Kontroversi RUU HIP naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lahirnya Pancasila di Zaman Soekarno, hingga Kontroversi RUU HIP - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Semua omongan Megawati dan Basarah tentang Trisila, Ekasila, dan gotong royong adalah daur ulang dari pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 di rapat BPUPKI. Ketika Pancasila sudah mendapat tepuk tangan riuh, Sukarno tiba-tiba menawarkan kejutan lain.

“Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja,” kata Sukarno.

Tiga hal itu tak lain adalah Trisila seperti yang disampaikan Megawati. Sedangkan Ekasila, ketika Sukarno memerasnya lagi, tidak lain adalah gotong royong.

“Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!” teriak Sukarno.

Sekarang ketiga hal itu muncul lagi di dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila setelah lewat 75 tahun, termasuk ucapan Sukarno tentang ke-Tuhanan yang berkebudayaan dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3). Apa yang mereka sasar salah satunya tentu adalah melestarikan Pancasila dari Sukarno.

Sukarno sendiri mengingatkan dalam pidatonya bahwa ia tidak memaksa Trisila, Ekasila, atau Pancasila harus menjadi dasar negara.

“Terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila,” ucap Sukarno.

Pancasila jadi alat politik

Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2018 menyebutkan dukungan pada negara Pancasila menurun sampai 75,3 persen. Selama 13 tahun, dukungan terus menurun. Pada 2005 angka sempat mencapai 85,2 persen.

Pada 2018 Jokowi juga mengganti Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Perubahan ini menjadikan BPIP sebagai lembaga setingkat kementerian.

Mahfud MD, salah satu anggota Dewan Pengarah BPIP, berpandangan bahwa "ada ancaman terhadap ideologi Pancasila.” Karena adanya gerakan radikal itulah pemerintah segera membentuk BPIP kendati harus menagmbil biaya dari APBN.

RUU HIP yang digunakan untuk menyokong BPIP menjadi polemik setelah diusulkan PDIP dan dibahas di parlemen. Sebagian fraksi, seperti PKS, memilih menarik dukungan mereka. PDIP sendiri terus mempertahankan argumen tentang pentingnya RUU HIP.

Belakangan, PDIP bahkan mengusulkan RUU HIP diganti nama menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Harapan wakil rakyat di DPR, polemik yang terjadi bisa segera selesai. Apalagi BPIP perlu aturan hukum agar menjadi satu lembaga yang resmi.

Masalahnya, persoalan RUU HIP atau PIP bukan pada nomenklatur saja, tapi juga isinya. Pada bagian tugasnya, lembaga BPIP bisa “memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Haluan Ideologi Pancasila kepada Presiden” dan “mengarahkan pelaksanaan kebijakan pembangunan di lembaga-lembaga negara, kementerian/lembaga, lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga nonstruktural dan Pemerintahan Daerah berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila.”

Tugas dan wewenang itu seolah-olah menjadikan BPIP penafsir tunggal Pancasila dan mencampuri urusan Kementerian/Lembaga (K/L). Jokowi juga tidak keberatan dengan itu. Namun ini membuat BPIP berpeluang menggunakan Pancasila sebagai alat jual-beli untuk meloloskan kebijakan tertentu. Jual-beli itu, misalnya, dengan mengatakan suatu kebijakan yang dibuat K/L tidak sesuai dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

“PDIP sedang membuat tafsir tunggal Pancasila, dan ini berbahaya,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin.

Nantinya, secara tidak langsung presiden bukan menjadi patokan penentu kebijakan tertinggi, tapi justru BPIP. Siapapun presidennya, BPIP “akan menyandera setiap kekuasaan.” Siapapun yang berkuasa di BPIP, dia bisa menjadi penentu kebijakan mana yang lolos dan mana yang tidak.

Untuk sekarang, Ketua Dewan Pengarah dipegang Megawati Soekarnoputri. Dengan melegalkan BPIP, Ujang menilai PDIP sedang membuat warisan untuk dinikmati di kemudian hari. Posisi Megawati tentunya akan menjadi sangat strategis untuk diperebutkan siapapun. Merujuk pandangan Ujang, BPIP bisa menjadi “alat legitimasi kelompok tertentu”.

Padahal jika kembali menelaah pidato-pidatonya, Megawati pernah berucap, “Jangan kalian merekayasa keyakinan masing-masing sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Seolah kebenaran personal dan kelompok adalah kebenaran yang absolut.” Ketika kalimat itu diucapkan, Megawati tengah membahas soal hoaks.

PDIP memang tidak sedang membuat hoaks. Tapi PDIP tengah memaksakan keyakinannya tentang Pancasila sebagai kebenaran mutlak. RUU HIP, RUU PIP, BPIP, atau apapun namanya, adalah kendaraan belaka.

Related

News 8766230449630067319

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item