DPR Minta Sri Mulyani Tagih Pajak yang Belum Dibayar, daripada Terus Menambah Utang

DPR Minta Sri Mulyani Tagih Pajak yang Belum Dibayar, daripada Terus Menambah Utang,  naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP Dolfie OFP meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati segera mengejar tagihan piutang perpajakan untuk menutup kebutuhan belanja di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dianggap lebih baik ketimbang menutup kebutuhan anggaran dengan menerbitkan surat utang.

Dolfie meminta hal ini lantaran mengetahui pemerintah memiliki piutang yang belum tertagihkan mencapai Rp94,69 triliun yang tertuang di Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2019 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jumlah temuan piutang itu meningkat sekitar 16,22 persen dari Rp81,47 triliun pada LKPP 2018.

Dalam LHP LKPP 2019, BPK menilai bahwa sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan pemerintah masih lemah, baik di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) maupun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan.

Tercatat, piutang pajak DJP mencapai Rp72,63 triliun dan piutang cukai DJBC sebesar Rp22,06 triliun pada 2019.

Sementara pada tahun ini, pemerintah mengestimasikan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp1.173,7 triliun untuk menutup kebutuhan belanja dan defisit APBN 2020. Per Juli 2020, penerbitan SBN sudah mencapai Rp513,4 triliun atau 43,7 persen dari target.

"Piutang ada banyak, jadi kapan itu bisa ditagih atau dibayarkan? Itu bisa tambah penerimaan ketimbang menerbitkan SBN," ujar Dolfie saat rapat bersama di Gedung DPR/MPR.

Tak hanya itu, Dolfie juga meminta estimasi dari Sri Mulyani mengenai estimasi besaran piutang yang mungkin bisa ditagih sampai akhir tahun ini. Begitu juga dengan rencana penagihan piutang pada pelaksanaan APBN 2021 mendatang.

"Cara apa saja yang akan dilakukan untuk (menagih) piutang? Tahun ini dan 2021, itu kira-kira berapa piutang yang bisa ditagih?" katanya.

Terkait hal ini, Sri Mulyani menyatakan pemerintah berusaha meningkatkan penatausahaan piutang perpajakan melalui implementasi kebijakan Sistem Akuntansi Pendapatan (Revenue Accounting System/RAS) di DJP secara nasional mulai 1 Juli 2020.

Sistem ini berfungsi untuk memvalidasi data piutang per transaksi secara tepat waktu (real time), sehingga penindakan bisa dilakukan sesegera mungkin ke depan.

"Kami berharap piutang akan mencerminkan kondisi yang paling update dan terkini, sehingga tidak menimbulkan potensi yang berlebihan atau angka-angka yang terlalu besar yang tidak menunjukkan akurasinya," katanya.

Sementara di DJBC, sambungnya, pemerintah akan memberlakukan prosedur operasi standar (Standard Operating Procedure/SOP) untuk pencatatan dan mutasi piutang berbasis dokumen. Kebijakan ini akan menyasar piutang DJBC yang umumnya berupa bea masuk dan pajak impor.

"Dalam proses pembahasan sekarang ini," jelasnya.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menambahkan penambahan piutang pajak terjadi karena terbitnya kohir atau surat penetapan pajak. Penetapan ini tidak hanya berasal dari internal DJP dari hasil pemeriksaan kepatuhan wajib pajak, namun juga putusan pengadilan pajak dan Mahkamah Agung (MA).

"Jadi setiap saat dan waktu, pertambahan piutang pajak karena penetapan, penetapan itu bisa untuk tahun pajak satu, dua, sampai lima tahun sebelum penetapan pajak tersebut. Kadaluarsa kami sampai lima tahun ke belakang, jadi bisa saja dari 2016, namun baru ditetapkan pada 2020," terang Suryo.

Dengan begitu, ia menyatakan penambahan piutang dari tahun ke tahun tidak serta merta terjadi karena pemerintah tidak melakukan penagihan kepada wajib pajak. Penagihan, sambungnya, tetap dilakukan melalui penerbitan surat pemberitahuan, surat teguran, surat pengambilan paksa, blokir, sita, hingga lelang atas aset yang disita.

"Penagihan secara aktif dilakukan dengan surat paksa," imbuhnya.

Begitu juga dengan proses penghapusan piutang usai proses penagihan selesai dilakukan. Penghapusan piutang dilakukan atas persetujuan dari Inspektorat Jenderal dan Menteri Keuangan.

Suryo merinci jumlah piutang menurut usia pencatatan. Saat ini, piutang pajak berusia 1 tahun sebanyak Rp21 triliun dan usia 1-2 tahun Rp12 triliun. Lalu, usia 2-3 tahun sebesar Rp12 triliun, usia 3-4 tahun Rp8 triliun, usia 5 tahun Rp6 triliun, dan di atas 5 tahun Rp10 triliun.

Di sisi lain, ia mengatakan tantangan pencatatan piutang juga berasal dari piutang yang ada di luar sistem internal pajak karena masih menunggu putusan dari pengadilan maupun MA. Atas tantangan ini, ia menyatakan institusinya mengeluarkan solusi berupa penerapan RAS.

"Sistem akan melihat bagaimana piutang terbentuk dan bisa direalisasikan atau tidak direalisasikan yang ujungnya dihapuskan. Sekarang kami sudah connect, jadi insya Allah ke depan antara pengadilan dan DJP bisa integrasi," ujarnya.

Sementara untuk piutang di DJBC, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menyatakan ada tiga hasil temuan BPK mengenai piutang bea cukai. Pertama, piutang bea masuk tambahan senilai Rp695 juta.

"Sebagian sudah kami tindak lanjuti," kata Heru.

Kedua, piutang cukai Rp17 triliun yang sudah diatur dalam perundang-undangan cukai selama dua tahun, sehingga memang masih memiliki batas waktu yang belum lewat bagi tertagih. Pada upaya penagihan, DJBC menetapkan denda 10 persen dari total tagihan bila tida dibayar dalam dua tahun.

Related

News 5879914119493274953

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item