Ketika Negara-negara Lain Dihantam Resesi, China Justru Bangkit dari Keterpurukan

Ketika Negara-negara Lain Dihantam Resesi, China Justru Bangkit dari Keterpurukan, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Cahaya kebangkitan ekonomi Negeri Tirai Bambu semakin terlihat. Rilis data perkembangan terbaru menunjukkan baik sektor manufaktur dan non-manufaktur China sudah berada di mode ekspansif.

Biro statistik nasional (NBS) China melaporkan indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur di bulan Juli berada di 51,1. Angka ini membaik dari bulan lalu yang berada di 50,9.

Sektor manufaktur China terus mencatatkan ekspansi usai mengalami kontraksi yang dalam di bulan Februari. Kala itu China sedang didera oleh wabah yang disebabkan oleh virus corona.

Namun seiring dengan berjalannya waktu dan China perlahan-lahan mampu menjinakkan patogen berbahaya itu, aktivitas ekonomi yang tadinya mati suri mulai bergeliat kembali.

Angka PMI manufaktur bulan Juli seolah membuktikan bahwa China benar-benar berada dalam jalur pemulihan ekonomi. Angka tersebut bahkan lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun Bloomberg di 50,8.

Sub-indeks untuk produksi naik 0,1 poin menjadi 54 pada Juli. Pesanan baru naik 0,3 poin menjadi 51,7, naik selama tiga bulan berturut-turut. Sementara sub-indeks yang mengukur pesanan ekspor baru naik 5,8 poin menjadi 48,4.

Pada bulan Juni, laba perusahaan industri juga mengalami peningkatan 11,5% (yoy) dari peningkatan 6,0% di bulan Mei. Namun, dalam enam bulan pertama tahun ini laba masih mengalami penurunan sebesar 12,8%.

Di sisi lain pemilik pabrik masih tidak berharap untuk mempekerjakan lebih banyak staf secara signifikan di bulan mendatang. Hal ini tercermin dari metrik ketenagakerjaan di angka 49,3 untuk Juli, sedikit lebih tinggi dari 49,1 Juni.

Beralih ke sektor non-manufaktur, angka PMI non-manufaktur bulan Juli China berada di 54,2 lebih rendah 0,2 poin dari bulan sebelumnya di 54,4. Dengan data ini maka PMI komposit China sebagai gabungan kedua indeks berada di angka 54,1 di bulan Juli. Membaik dari posisi bulan sebelumnya yang berada di 53,4.

Ekonomi China pada kuartal pertama tahun ini tercatat mengalami kontraksi yang terdalam sejak tahun 1970-an. PDB Negeri Panda mengalami kontraksi 6,8% pada tiga bulan pertama tahun ini.

Namun keberhasilan China dalam mengendalikan wabah di negaranya membuat ekonomi mampu bangkit dan tumbuh di teritori positif pada kuartal kedua sebesar 3,2%.

"Melalui perencanaan untuk menggabungkan kontrol pandemi dan kebijakan pembangunan, iklim ekonomi China terus pulih, dan operasi bisnis terus membaik," kata Zhao Qinghe, ahli statistik senior di Biro Statistik Nasional kepada South China Morning Post (SCMP).

Namun ketika ekonomi China mulai bangkit pada kuartal kedua, mayoritas ekonomi negara-negara maju di dunia justru malah terjerembab dalam pertumbuhan negatif.

Berbeda dengan China yang mulai menerapkan lockdown sejak awal tahun, lonjakan kasus di negara-negara lain terutama di Eropa baru terlihat di akhir Maret. Oleh karena itu lockdown yang masif baru diterapkan pada kuartal kedua.

Pembatasan mobilitas yang masif pada kuartal dua membuat perekonomian pada periode tiga bulan kedua tahun ini menjadi sangat suram.

Ekonomi global tahun ini harus jatuh ke dalam resesi besar. Dua lembaga keuangan global bentukan perjanjian Bretton Wood 76 tahun silam yakni IMF dan World Bank memperkirakan output global tahun ini mengalami kontraksi sebesar 4,9% hingga 5,2%.

Berbagai indikator perekonomian terbaru seperti pertumbuhan PDB kuartal kedua sudah menunjukkan betapa ganasnya pandemi Covid-19 ini menyerang perekonomian global tanpa pandang bulu.

Tengok saja Amerika Serikat (AS) sebagai negeri Adikuasa. Jumlah pengangguran melonjak tinggi dan ekonomi AS mengalami kontraksi hingga 32,9% secara kuartalan. AS pun tak sendirian, raksasa ekonomi Eropa yakni Jerman juga mengalami pengalaman yang sama.

Pertumbuhan PDB Negeri Panser mengalami kontraksi yang dalam hingga 10,1% pada kuartal kedua. Masih dari Eropa, ekonomi Perancis juga mengalami kontraksi hingga 13,8%.

Dari Asia sendiri ada beberapa negara yang juga mengalami pertumbuhan di angka minus pada kuartal kedua. Sebut saja Korea Selatan yang mencatatkan kontraksi sebesar 3,3% dan Singapura di angka 41,2%.

Ke depan, masih akan ada lagi rilis data pertumbuhan ekonomi dari negara-negara lain untuk kuartal kedua. Rasanya nasib mereka tak akan jauh berbeda dengan negara-negara yang baru saja disebut.

China memang berhasil lolos dari jurang resesi dan untuk saat ini bisa dibilang ekonomi Tiongkok menjadi yang paling gagah. Namun sebenarnya China juga menghadapi risiko yang sama dengan negara lainnya.

Belum ditemukannya vaksin yang efektif berarti ada ancaman gelombang kedua wabah yang menanti ketika ekonomi terlalu digeber. Tak hanya soal pandemi saja ancaman yang dihadapi ekonomi China, tetapi juga bencana alam seperti banjir.

Ya, China diguyur oleh hujan lebat sejak awal Juni. Mengutip SCMP, hujan deras telah melanda seluruh China yang mencakup 27 provinsi dengan setidaknya ada 21 wilayah yang direndam banjir.

Ancaman lain yang dihadapi oleh pemulihan ekonomi China adalah tensi geopolitik yang tinggi dengan AS seputar perdagangan, kekayaan intelektual, otonomi Hong Kong, kekerasan terhadap kaum minoritas hingga kedaulatan teritori di Laut China Selatan. Itulah dua risiko yang dihadapi China saat ini.

Related

News 6861686167787594967

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item