Biografi Joseph Broz Tito, Pemimpin Terhebat Yugoslavia (Bagian 2)

Biografi Joseph Broz Tito, Pemimpin Terhebat Yugoslavia naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Biografi Joseph Broz Tito, Pemimpin Terhebat Yugoslavia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pada 4 Desember 1943, ia pun diangkat menjadi Presiden Dewan Pembebasan Yugoslavia, dan mengumumkan pembentukan pemerintahan darurat Demokrasi Yugoslavia.

Selama perang, tidak kurang tiga kali Jerman hampir berhasil menangkap atau membunuh Tito: dalam pertempuran di Neretva, perang di Sutjeska, dan penyerbuan kawasan Drvar dalam kurun 1943-1944. Tapi Tito lolos walaupun sempat mengalami luka parah saat ia dan pasukannya bertempur di Sutjeska.

Kegigihan kaum partisan itu mengundang simpati pihak Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat. Mereka pun memperoleh dukungan Sekutu.

Eksistensi Tito dan pasukan partisan mendapat pengakuan resmi pada awal 1944. Terutama dari Raja Peter II, setelah digelar Konferensi Teheran yang mempertemukan sang Raja dengan Presiden Amerika, Franklin D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, dan Perdana Menteri Soviet, Joseph Stalin.

Baru pada 17 Juni 1944, digelar Traktat Vis di Pulau Dalmatian, yang isinya menyepakati penggabungan pemerintahan di bawah Tito, dengan pemerintahan dalam pengasingan di bawah Raja Peter II.

Dalam pemerintahan gabungan itu, Tito terpilih sebagai perdana menteri pemerintahan darurat. Dengan mandat baru itu, ia segera melancarkan strategi jitu untuk mengusir seluruh kekuatan asing dari bumi Yugoslavia.

Ia, diam-diam, mengadakan semacam perjanjian dengan Uni Soviet dan membolehkan Tentara Merah melakukan operasi di kawasan timur laut negeri. Upaya itu berhasil, dan tentara Jerman menarik seluruh pasukannya ke wilayah perbatasan. Dengan langkah itu, berakhir pula pendudukan asing atas Yugoslavia.

Usai Perang Dunia II, Tito segera menjadi tokoh yang populer di mata rakyat. Ia dipuja sebagai pemimpin pembebasan Yugoslavia. Ia juga berhasil menghimpun seluruh kekuatan yang terdiri atas beragam etnis dan agama, bahkan ideologi.

Negeri itu lalu mengubah namanya menjadi Republik Federasi Sosialis Yugoslavia. Lewat parlemen, kekuasaan Raja Peter II dihilangkan sama sekali, dan Tito leluasa melebarkan kekuasaannya.

Di masa-masa awal setelah Perang Dunia II, Tito dikenal sebagai pemimpin yang amat loyal kepada Moskow. Di Blok Timur, ia dianggap sebagai orang kedua setelah Stalin. Tapi, sesungguhnya, hubungan Tito dengan pemimpin Rusia itu tak semulus yang tampak. Stalin merasa ada ganjalan, karena menilai sikap Tito terlalu independen.

Dan itu terbukti beberapa waktu kemudian. Pemimpin Yugoslavia itu melepaskan sama sekali persekutuannya dengan Uni Soviet. Tito memandang, negerinya berhak meraih keinginannya sendiri. Tambahan lagi, adanya sejumlah insiden yang membuat Moskow gerah. Satu di antaranya, sikap Tito yang terang-terangan membela kelompok ”pemberontak” saat terjadi Perang Saudara di Yunani. Sementara, Stalin memilih diam karena pernjanjiannya dengan Churchill.

Lebih menyakitkan lagi, setelah Tito mengumumkan model pembangunan ekonomi yang ditempuh Yugoslavia, yang lepas dari pengaruh Uni Soviet.

Dalam salah satu suratnya ke Istana Kremlin, Tito menulis, “Kami mendalami dan mengambil sistem Soviet sebagai contoh, tapi kami ingin mengembangkan sosialisme yang berbeda di negeri kami. Bukan masalah betapa cinta kita kepada tanah asal sosialisme, Uni Soviet, toh kami tentu lebih mencintai negeri sendiri.”

Sejak itu, model sosialisme yang dikembangkan Tito mendapat julukan ”Titoisme.” Celakanya, Stalin yang marah menjadikan perselisihan ideologi itu sebagai masalah pribadi. Pemimpin Soviet itu lantas berkali-kali mengirim pasukan pembunuh untuk menghabisi Tito. Ujung-ujungnya, Tito melayangkan surat ke Istana Kremlin dan memperingatkan Stalin agar menghentikan percobaan pembunuhan itu.

“Berhentilah mengirim orang untuk membunuh saya. Kami telah menangkap lima orang. Seorang di antaranya dengan bom, dan yang lain dengan senapan. Bila Anda tidak juga berhenti mengirim orang, saya hanya perlu mengirim satu orang ke Moskow, dan saya pastikan dia tidak gagal, sehingga saya tak perlu mengirim orang kedua.”

Pada 14 Januari 1953, Tito terpilih menjadi presiden Yugoslavia, menggantikan Ivan Ribar. Dalam posisi itulah, ia bersama para pemimpin negara Dunia Ketiga—Soekarno, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah, dan Gamal Abdel Nasser—menggagas pembentukan Gerakan Nonblok beberapa tahun kemudian.

Banyak tokoh dunia mengakui kehebatan Tito. Ia dilukiskan sebagai diplomat sangat ulung, yang luwes bergaul dengan Blok Barat dan Blok Timur. Walau masuk dalam jajaran negara sosialis, Tito tidak pernah membawa negerinya masuk ke dalam salah satu blok itu.

Di bawah kepemimpinannya, Yugoslavia tumbuh menjadi negara sosialis yang kuat di Eropa Timur, tanpa harus menjadi anggota Pakta Warsawa ataupun Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Di dalam negeri, ia berhasil menyeimbangkan semua kekuatan yang punya potensi bertikai dan pecah di antara enam negara bagian dan dua daerah otonom. Stabilitas politik negeri itu terbangun atas kepiawaiannya menghidupkan rasa nasionalisme di antara kelompok-kelompok yang berbeda itu.

Guna mengimbangi cara memerintahnya yang terkesan otoriter, Tito menjadikan Yugoslavia sebagai negara sosialis yang paling terbuka di dunia. Warga negara Yugoslavia dengan mudah dan terbuka diizinkan bekerja dan berkunjung ke negara-negara Eropa Barat. Demikian juga sebaliknya. Pertukaran ide dan peningkatan kerja sama ilmu pengetahuan dengan dunia Barat, berjalan baik.

Tapi sayangnya, hanya berselang sepuluh tahun setelah ia wafat, muncul perang saudara yang membuat negeri yang dibangunnya terpecah-belah. Menurut pakar tentang Balkan, Sergey Baburin, pemerintahan federasi yang dibentuk Tito justru menjadi penyebab berlangsungnya Serbianisasi Yugoslavia.

Model seperti itu membuat etnis Serbia berkuasa di mana-mana, sedangkan etnis lain seperti Albania dan Bosnia menjadi pihak yang tersingkir. Tito memanfaatkan potensi konflik dan instabilitas itu sebagai prinsip politik yang konsisten diterapkan.

Tito meninggal pada 4 Mei 1980, setelah empat bulan dirawat di Rumah Sakit Ljubljana. Sebelumnya, ia mengalami masalah pada peredaran darah di kaki, sampai anggota tubuhnya sempat diamputasi. Boleh jadi, acara pemakamannya merupakan yang terhebat di antara para pemimpin dunia lainnya. Tak kurang, pemimpin dari 128 negara dari semua blok yang ada, hadir dan berkumpul di acara itu.

Tito pun tampaknya sudah merasa, Yugoslavia tidak akan awet sepeninggalnya. Di hari-hari menjelang wafat, ia pernah berujar: “Sayalah orang Yugoslavia terakhir.” Ucapannya terbukti, kini Yugoslavia hilang dari peta dunia.

Related

History 3478812207601875121

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item