Dampak Banjir Informasi di Era Internet: Banyak Orang Bodoh Merasa Pintar

Dampak Banjir Informasi di Era Internet: Banyak Orang Bodoh Merasa Pintar, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Di pusat pemerintahan Amerika Serikat, survei Washington in the Information Age terbitan National Journal Group tahun 2015 menyebutkan, “orang dalam Washington” mendapatkan pasokan informasi dari televisi, media cetak, radio, buletin yang dikirim ke email, situs web, hingga media sosial. 

Survei itu melibatkan lebih dari 1.000 responden yang terdiri dari staf kongres, para eksekutif pemerintahan federal, serta kaum profesional di lingkungan Capitol Hill.

Staf Capitol Hill bahkan menggunakan Facebook, Instagram, Twitter dan Snapchat lebih sering ketimbang profesional sektor swasta atau eksekutif federal lainnya.

Tom Nichols (2017) dalam The Death of Expertise, menyebut jauh lebih mudah bagi “orang dalam Washington” untuk mendapatkan informasi, tapi jauh lebih sulit memahami semuanya. Profesional di Washington sama seperti semua orang lain yang “dilumpuhkan” oleh keberlimpahan informasi.

Jika pembuat kebijakan di Washington bingung mencerna keberlimpahan informasi setiap hari, bagaimana dengan yang lain (orang awam)? Siapa yang punya waktu menyortir derasnya informasi dari banyak media di tangan kita? Kondisi ini mendorong sebagian orang berpikir dirinya memang “cerdas”.

Idiot yang confident

Di tengah pandemi, media sosial menjadi pertunjukan orang-orang “cerdas”, mungkin kita salah satunya. Setiap orang bisa menjadi pakar hanya dengan membagikan artikel, ditambah dukungan beberapa teman di kolom komentar. Padahal orang itu tidak benar-benar “membacanya”. Kita menggunakan keberlimpahan informasi agar kita tidak terlihat bodoh dan setara dengan yang lain, padahal sebaliknya.

Inilah kenapa media sosial hanya membawa kita bergema di “ruang kita” sendiri alias echo chamber. Kita “berteriak-teriak” dan menjadi “pakar” hanya di lingkungan yang sepaham dengan kita saja. Dukungan teman di kolom komentar bukan karena pengetahuan mereka yang mumpuni, tetapi karena sama-sama tidak tahu dasar informasi itu dihasilkan dan siapa pakar yang sesungguhnya.

Keberlimpahan informasi membawa bias informasi. Bias informasi menghasilkan bias kognitif (bias pengetahuan) dalam diri kita. Bias kognitif membuat kita menilai kemampuan pengetahuan kita lebih besar dari informasi itu.

Semakin kita mengonsumsi (atau setidak-tidaknya membiarkan diterpa) bias informasi, semakin kita yakin kita cerdas, semakin kita tidak menyadari bahwa kita salah. Dari sinilah pintu masuk hoax bermula.

David Dunning dan Justin Krueger (1999) Psikolog di Cornell University, AS, pernah meneliti bagaimana orang yang “tak berkeahlian” alias “tak berkompeten” bisa menyita “perhatian” dengan analisisnya.

Penelitian yang disebut sebagai efek Dunning Krueger itu menyimpulkan, inkompetensi seseorang bisa merampas kemampuannya dalam menyadari kesalahan tersebut. (Lihat: Tom Nichols, Matinya Kepakaran (The Death of Expertise), Kepustakaan Populer Gramedia, 2018, Jakarta (hal 52).

Sementara Dunning menyebutnya “Confident Idiots”. (Lihat: David Dunning, We Are All Confident Idiots, 27 Okt 2014).

Saat Work from Home menjenuhkan sebagian dari kita, berselancar di internet dan media sosial bisa menjadi hiburan. Semakin banyak klik yang kita lakukan, semakin deras informasi yang kita terima, semakin sedikit waktu kita menyortir gempuran informasi tersebut, semakin bias informasi menerpa kita. 

Tahu-tahu kita merasa tahu banyak dari yang kita ketahui sebelumnya. Hal itu mendorong kita mudah membagikan informasi yang kita sendiri tidak tahu asal usulnya.

Tom Nichols (2017) menyebut mereka yang menjadi “pakar dadakan”, karena tidak memiliki keahlian dalam “metakognisi”, sebuah kemampuan untuk menyadari kesalahan, dengan mengambil jarak, melihat apa yang sedang Anda lakukan, lalu menyadari bahwa Anda salah melakukannya. (Lihat: Tom Nichols, Matinya Kepakaran (The Death of Expertise), Kepustakaan Populer Gramedia, 2018, Jakarta (hal 54).

Kita tenggelam dengan banyak data yang sesungguhnya tidak kita pahami. Banjir informasi menerpa lebih cepat dibandingkan kecepatan kita menyaring, mencerna, menelusuri informasi tersebut. Kondisi ini setidaknya melahirkan dua hal. Kabar buruknya, setiap orang bisa menjadi pakar di media sosial. Kabar lebih buruknya, setiap pakar bisa “terbunuh” di media sosial.

Survei GlobalWebIndex 2019 yang dikutip www.bbc.com menyebutkan, masyarakat Indonesia usia 16-24 tahun mengonsumsi media sosial 195 menit sehari atau 3 jam lebih. Sementara di Jepang, penggunaan media sosial hanya 45 menit per hari.

Sementara survei Perpustakaan Nasional tahun 2017, rata-rata durasi orang Indonesia membaca buku 30-59 menit per hari, frekuensi membaca buku 3-4 kali per minggu, dan jumlah buku yang ditamatkan hanya 5-9 buku per tahun.

Manusia adalah hewan berakal sehat yang berbicara berdasarkan akal pikirannya, kata filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM). Manusia mampu berpikir karena memiliki “mesin pencari” kebenaran, yaitu logika yang diproduksi oleh akal dan pikiran kita.

Namun mesin pencari digital kian melemahkan “mesin pencari” kita. Akal dan pikiran kita tak lagi bekerja keras mencari kebenaran. Tugas itu digantikan oleh jari-jari kita di smartphone, sampai akhirnya “mesin pencari” kita pensiun dini.

Maka, demi terhindar dari “virus” Confident Idiots, ada baiknya “Social Distancing” juga kita lakukan di media sosial, dengan membatasi dan mengontrol penggunaannya.

Tom Nichlos (2017) mengakui bahwa jurnalisme yang bertanggung jawab bisa jadi pegangan informasi. Tetapi Tom pun skeptis, ketika semua hal adalah jurnalisme dan semua orang adalah “jurnalis”, standar pasti akan runtuh.

“Lebih banyak bukan berarti lebih berkualitas,” kata Tom. (Lihat: Tom Nichols, Matinya Kepakaran (The Death of Expertise), Kepustakaan Populer Gramedia, 2018, Jakarta (hal 170).

Wartawan senior Amerika Serikat, Bill Kovach (2010) dalam buku BLUR, menyoroti bahwa proses gatekeeping alias “penjaga pintu” bagi jurnalisme kian problematik atau bahkan usang.

Kini ada banyak kanal sumber informasi yang bisa di akses publik. Di tengah kondisi ini, “jurnalisme menjadi Gatekeeping di ruangan yang tak lagi berdinding”, kata Bill Kovach. (Lihat: Bill Kovach & Tom Rosenstiel, BLUR (Bagaiman Mengetahui Kebenaran di era banjir Informasi), Diterbitkan oleh Dewan Pers, April 2019, Jakarta (hal 182).

Related

Science 4230509617917403218

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item