Karena Perubahan Iklim, Jumlah Hari Hujan di Indonesia Kian Berkurang (Bagian 1)

Wanita Nangis dan Teriak-teriak di Apartemen Kalibata, Didatangi 2 Sekuriti, Apa yang Terjadi?

Naviri Magazine - Iklim tengah berubah, pola cuaca tidak lagi sama. Dahulu, musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia rutin dimulai pada September, kini musim hujan baru mulai mengguyur pada Oktober, November bahkan Desember. Proporsi bulan basah dan kering juga tidak lagi seperti dulu. Jumlah hari hujan tahunan di Indonesia berangsur-angsur berkurang. 

Dalam kurun waktu 2014-2018, BPS melalui “Statistik Lingkungan Hidup” yang dipublikasi pada tahun 2015 dan 2019 melaporkan, rata-rata hari hujan di seluruh provinsi di Indonesia berkurang 50 hari dari yang semula 179 hari pada 2014 menjadi 129 hari selama 2018.

Apabila dirunut per tahun, rata-rata jumlah hari hujan di Indonesia terus-menerus berkurang setiap tahunnya kecuali pada 2016. Pada tahun itu, jumlah hari hujan di Indonesia mencapai 216 hari atau bertambah 72 hari dari tahun sebelumnya yakni 144 hari. 

Selama itu juga hanya ada satu provinsi yang mengalami peningkatan hari hujan yakni Sumatra Barat dari 163 hari hujan sepanjang 2014 menjadi 187 hari atau bertambah 28 hari.

Sementara penurunan rata-rata jumlah hari hujan yang paling signifikan dialami Sulawesi Tengah dengan 94 hari. Disusul Maluku Utara dan Jawa Barat yang masing-masing mengalami penurunan hari hujan sebanyak 85 dan 83 hari. 

Apabila dilihat per pulau, Jawa menjadi pulau dengan penurunan hari hujan paling ekstrem di antara pulau besar lainnya. Dalam kurun waktu 2014-2018, rata-rata jumlah hari hujan di Pulau Jawa telah berkurang 72 hari.

Fenomena perubahan pola cuaca ini merupakan indikasi nyata terjadinya perubahan iklim di Indonesia. Iklim sendiri merupakan rata-rata peristiwa cuaca di suatu wilayah tertentu dalam variasi waktu yang cenderung lama. Sementara cuaca merupakan gejala alam yang terus terjadi dan berubah dalam waktu yang lebih singkat. 

Bisa dikatakan, perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang terhadap pola cuaca. Walhasil, perubahan iklim akan menghasilkan pola cuaca baru yang akan bertahan lama dalam puluhan, ratusan hingga jutaan tahun.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perubahan ini disebabkan oleh aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti yang dilansir Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (PPI). 

Sejak dimulainya revolusi industri, hampir segala aktivitas manusia melepaskan dan meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, nitrogen, dan sebagainya yang kemudian mengubah komposisi atmosfer global.

Sebenarnya, bumi juga membutuhkan gas rumah kaca untuk menjaga suhu agar tetap stabil. Kendati demikian, konsentrasi gas rumah kaca yang berlebihan membuat lapisan atmosfer kian menebal dan menciptakan efek rumah kaca. Walhasil, sebagian panas matahari yang seharusnya dipantulkan kembali justru terperangkap di atmosfer dan menyebabkan peningkatan suhu permukaan bumi yang biasa disebut pemanasan global.

Bumi berangsur-angsur memecahkan rekor suhu terpanasnya setiap tahun. Analisis independen National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan National Aeronautics and Space Administration Amerika Serikat atau NASA mencatat, suhu global tahunan telah meningkat rata-rata 0,7 derajat Celcius per dekade sejak 1880 dan terus mencapai dua kali lipat atau 0,18 derajat Celcius sejak 1981. 

Tahun lalu, suhu permukaan global tahunan 2019 menjadi yang terhangat kedua dalam kurun waktu 140 tahun terakhir, atau sejak pencatatan suhu modern dimulai pada 1880.

Pada 2019, suhu permukaan laut dan daratan global dilaporkan meningkat 0,95 derajat Celcius. Angka ini hanya 0,04 derajat lebih rendah dari rekor peningkatan suhu bumi tertinggi yakni 0,99 derajat Celcius pada 2016 yang menjadi tahun terhangat di bumi. 

Sebelumnya, rekor tahun terhangat kedua dipegang oleh 2015 dengan peningkatan suhu global mencapai 0,93 derajat Celcius. Sejak 2015 juga bumi terus mencatatkan lima tahun terpanasnya dalam rekor 1880-2019.

Pola yang sama terjadi di Indonesia, 2019 juga menjadi tahun terpanas kedua yang dialami masyarakat Indonesia. Data observasi stasiun pengamatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperlihatkan, anomali suhu pada 2019 mencapai 0,58 derajat Celcius dari rata-rata periode normal (1981-2010). 

Pada tahun itu juga, seluruh provinsi di Indonesia kecuali Bali mencatatkan anomali positif dengan nilai anomali tertinggi 1,13 derajat Celcius di Kepulauan Riau dan 1,03 derajat Celcius tercatat di Banten. 

Sedangkan 31 provinsi lainnya mencatatkan anomali positif dibawah 1 derajat Celcius. Layaknya fenomena peningkatan suhu global tahunan, BMKG juga mencatat tahun terpanas di Indonesia terjadi pada 2016 dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat Celcius.

Tahun ini, Indonesia kembali mengalami peningkatan suhu. Berdasarkan data pengamatan BMKG, suhu rata-rata September 2020 mencapai 27,2 derajat Celcius atau meningkat 0,6 derajat Celcius dari suhu September pada periode normal yakni 26,6 derajat Celcius. 

Tidak hanya Indonesia, suhu global juga dihadapkan dengan risiko serupa. Secara keseluruhan, suhu permukaan global pada September 2020 sendiri menjadi September terpanas dalam catatan. Apablia diruntut dari Januari tahun ini, NOAA mencatat adanya peningkatan suhu rata-rata 1,02 derajat Celcius di sebagian besar daratan dan lautan global.

Baca lanjutannya: Karena Perubahan Iklim, Jumlah Hari Hujan di Indonesia Kian Berkurang (Bagian 2)

Related

Science 6914493487302279245

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item