Pilpres AS 2020 Dianggap Pemilu Terburuk Sepanjang Sejarah Amerika (Bagian 2)

Pilpres AS 2020 Dianggap Pemilu Terburuk Sepanjang Sejarah Amerika

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Pilpres AS 2020 Dianggap Pemilu Terburuk Sepanjang Sejarah Amerika - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Salah satu sumbangsih Trump yang paling besar adalah usahanya untuk mendelegitimasi pemilihan presiden. Misalnya, dia menyebut pemungutan suara di Ohio akan dicurangi sebelum kejadian dan tanpa bukti. Trump kemudian menyuruh pendukungnya untuk mengawasi pengambilan suara secara mandiri. Hal ini berpeluang menimbulkan intimidasi di tempat pengambilan suara.

Trump juga memberi sinyal bahwa dia tidak akan mengakui hasil pilpres jika dirinya kalah. Selain itu Trump juga mendiamkan orang-orang di lingkarannya yang mendukung kekerasan. Salah satunya politikus Partai Republik Alfred P. Baldasaro yang menyebut Hillary Clinton, pesaing Trump kala itu, “harus dihukum tembak karena pengkhianatan.”

Empat tahun setelah kemenangannya, menjelang pilpres 2020, Trump tak juga berubah. Tuduhannya sama. Pertama, soal adanya penipuan dalam pemungutan suara. Dia mendorong simpatisannya agar pergi dan mengawasi pemungutan suara di Philadelphia. 

Padahal, pengawas atau saksi sudah punya kriteria yang ditetapkan masing-masing negara bagian. Salah satu yang paling jelas adalah pengawas harus merupakan pemilih dari daerah terkait.

Namun Trump malah mencuitkan protesnya di akun Twitter @realDonaldTrump dan menuding ada alasan “korupsi” melatarbelakangi larangan pendukungnya mengawasi tempat pemungutan suara.

Trump juga menyuruh simpatisannya untuk melakukan pencoblosan sebanyak dua kali. Selama pandemi, pemungutan suara diantisipasi dengan dua hal, pertama melalui metode mail-in yang memungkinkan orang tidak berduyun-duyun berkumpul untuk mencoblos. 

Kedua dengan datang ke tempat pemungutan suara. Untuk memastikan sistem jarak jauh berjalan lancar, Trump menyuruh pendukungnya untuk mencoblos dengan dua cara tersebut.

Perintah yang menurut sebagian orang masuk dalam kategori kejahatan federal.

Trump kembali mendiamkan kelompok-kelompok yang bertendensi melakukan kekerasan. Dia malah mengeluarkan perintah tegas untuk menindak siapapun yang kedapatan melakukan aksi pengrusakan atau pelecehan pada monumen atau patung-patung yang mendapatkan dana dari pemerintah dan dilakukan oleh demonstran.

Hasilnya, respons aparat kepada demonstran kian memanas. Dalam aksi demonstrasi jelang pemungutan suara, polisi dengan mudahnya menyemprotkan gas air mata kepada demonstran, bahkan anak-anak yang ikut di sana.

Sedangkan kelompok sayap kanan yang mendukung supremasi kulit putih dan malah didiamkan Trump salah satunya adalah Oath Keepers. Kemudian ada The Proud Boys yang Trump suruh untuk “mundur dan bersiaga.”

Pernyataan Trump tidak menghentikan kelompok tersebut. Padahal Trump diminta untuk mengutuk aksi-aksi kekerasan mereka. Beberapa orang justru berpandangan, Trump mendorong aksi kekerasan yang akan dilakukan Proud Boys jika nanti Trump kalah. Proud Boys sebelumnya sudah melukai sejumlah demonstran sayap kiri yang tidak suka dengan Trump.

Trump juga menolak menyatakan akan menerima pergantian kekuasaan secara damai, jika nanti ia kalah. Menurutnya, surat suara akan menjadi sangat bermasalah saat pemungutan suara, lagi-lagi tanpa bukti nyata. 

Ketika ditanya wartawan apakah dia akan menjaga perdamaian saat transisi kekuasaan, Trump menyatakan “hilangkan surat suara, dan kamu akan mendapatkan, tidak ada pergantian, tapi justru kelanjutan kekuasaan yang sangat, sangat damai.”

Intinya, Trump harus menang.

Apa yang dilakukan Trump adalah meneruskan tradisi buruk berupa kekerasan saat perebutan kekuasaan. Profesor politik dari Universitas College London, Brian Klaas menyebut tidak heran jika ada kekerasan yang terjadi saat pemungutan suara.

Sebuah jejak pendapat yang dilakukan oleh YouGov menunjukkan 47 persen dari 1.999 responden percaya bahwa pemilu tidak akan berjalan adil dan jujur. Sedangkan sebanyak 51 persen tidak akan percaya pada presiden hasil pemilu kali ini. Sedangkan dari 1.505 pemilih, YouGov menemukan 56 persen diantaranya percaya akan ada peningkatan kekerasan setelah pemilu.

Trump sukses merasuk pemikiran masyarakat bahwa pemilu bermasalah dan kekerasan akan terjadi jika ia kalah.

“Dia [Trump] justru meyakinkan pendukungnya, sekitar lebih dari 10 juta orang, bahwa jika dia kalah, maka itu karena pemilu dicurangi, yang mana itu bohong. Saya khawatir jika nanti hasilnya terpaut tipis [dan Trump kalah] maka dia akan mendorong simpatisannya untuk bertindak [kekerasan],” kata Klaas dikutip CNBC.

Related

News 1315438813325728275

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item