Mengapa Pemerintah Tak Berdaya Membubarkan FPI? Ini Analisis Ahli (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Pemerintah Tak Berdaya Membubarkan FPI? Ini Analisis Ahli - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Robert W. Hefner melalui artikel bertajuk "Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia" (2009) mencatat bahwa kelompok Islam radikal ini menjadi grup paramiliter yang sengaja dirangkul oleh kroni-kroni Soeharto demi mengamankan peralihan kekuasaan. Salah satu orang yang merangkulnya tak lain adalah Wiranto.

Dia memobilisasi sekitar 100 ribu milisi yang merupakan kelompok radikal Islam untuk menghadapi protes mahasiswa progresif setelah kejatuhan Soeharto. Kelompok yang tak ragu melakukan kekerasan itu dikumpulkan dalam satu wadah bernama Pam Swakarsa. Mereka menjadi momok bagi mahasiswa menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.

Wiranto menampik bahwa dia punya kedekatan istimewa dengan FPI dan Rizieq. Namun, menurut Hefner, Wiranto bertanggung jawab atas berdirinya FPI sekitar tiga bulan setelah Soeharto jatuh. Keterlibatan FPI dalam perekrutan anggota Pam Swakarsa dan protes kepada Komnas HAM atas pemeriksaan Wiranto pada tahun 2000 cukup menjadi indikasi penting bahwa Wiranto dan FPI bertalian erat.

Dalam perkembangannya, FPI mengalami hubungan panas-dingin dengan aparat dan masyarakat. Kendati masih saja ada yang mendukung razia yang dilakukan FPI, banyak juga yang tak terima penerapan vigilantisme di tengah masyarakat. Beberapa kali, aksi semacam itu berujung hilangnya nyawa.

Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah razia yang dilakukan FPI di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah tahun 2013. Bukan hanya menutup, FPI merusak tempat hiburan di kawasan tersebut. 

Warga yang tak terima kemudian merusak mobil FPI. Hantaman warga ini berimbas serangan balik dari FPI satu hari berselang. Dalam serangan itu, mobil FPI yang sedang meninggalkan lokasi menabrak seorang ibu dan anak yang menaiki motor sehingga sang ibu meninggal dunia.

Sekilas, FPI yang awalnya dipakai untuk kepentingan politik kemudian menjadi kelompok penekan yang biasa bergerak atas nama agama. Pada Pilpres 2009 ormas ini mendukung Jusuf Kalla-Wiranto; gagal. Kemudian FPI mendukung Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli di Pilkada Jakarta 2012; gagal lagi. 

Pada Pilpres 2014 menyokong Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa; kandas. Dukungan politik FPI ternyata tidak cukup kuat untuk memenangkan pertarungan elektoral.

Pilkada Jakarta 2017 menjadi titik balik FPI. Ormas ini memainkan politik identitas dan terbukti cukup ampuh memengaruhi pemilihan orang nomor 1 di Jakarta.

FPI dan beberapa ormas Islam menolak BTP sebagai pemimpin Jakarta. Salah satu alasannya: BTP beragama Nasrani—yang dalam pengertian mereka merupakan orang kafir. FPI menentang kaum muslim dipimpin seorang kafir karena, menurut mereka, dilarang oleh agama. 

BTP kemudian tersangkut kasus penistaan agama. Pada 27 September 2016, dalam pertemuan dengan warga di Kepulauan Seribu, BTP mengajak masyarakat agar memilih pemimpin tanpa mencampuradukkan urusan spiritualitas dengan politik. Ucapan BTP itu memicu demonstrasi besar-besaran di Jakarta dengan FPI sebagai motor utama.

Pengampu mata kuliah Ilmu Politik dan Keamanan di Universitas Murdoch, Ian Wilson, menuliskan bahwa unjuk rasa dan mobilisasi demonstran itu adalah bukti kesuksesan besar FPI. Paling tidak, mobilisasi massa untuk turun ke jalan berhasil mendapat perhatian publik.

Berkali-kali Rizieq dan kawan-kawan sukses mengundang ratusan bahkan ribuan orang untuk berdemonstrasi. Aksi menentang BTP ini berlangsung beberapa kali dan menjadi semacam serial unjuk rasa. Mulai dari demonstrasi 4 November 2016 (411), 2 Desember 2016 (212), 31 Maret 2017 (313), dan semacamnya.

Tidak hanya itu, Rizieq juga menginisiasi Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah (MTJB) yang digelar dari 26 Februari hingga 10 Maret 2016. Gunanya adalah mencari calon yang bisa berkontestasi melawan BTP. Nama acaranya jelas mendengungkan politik identitas: Konvensi Gubernur Muslim (untuk) Jakarta.

Akhirnya, BTP yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat kalah oleh pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno dalam pilkada yang berlangsung dua putaran.

Kemenangan Anies-Sandi kemudian menjadi bingkai dalam mereproduksi isu berbasis politik identitas untuk menyerang kekuasaan Jokowi. Pada Pilpres 2019, FPI dan para loyalis gerakan 212 mendapat dukungan dari pasangan Prabowo-Sandiaga.

"Aliansi ini telah membantu mendorong FPI yang sebelumnya hanya kelompok jalanan menjadi pusat politik Islam dan nasional," catat Ian dalam tulisannya di New Mandala.

Sebenarnya politik identitas tidak selamanya bermakna negatif. Salah seorang inisiator gerakan Black Lives Matter (BLM) di AS, Alicia Garza, mencatat bahwa penggunaan politik identitas bisa saja tidak memecah belah persatuan suatu bangsa. 

Menurutnya, politik identitas dapat digunakan oleh kaum minoritas (kulit hitam) untuk menentang supremasi kulit putih. Dalam konteks ini, politik identitas dapat memastikan tidak ada satu pun kaum di luar mayoritas yang tak terpenuhi kebutuhannya.

"Politik identitas adalah ancaman bagi mereka yang memegang kekuasaan karena itu menggoyahkan kontrol yang sudah ada. Politik identitas adalah ancaman bagi kekuatan kulit putih," catat Garza dalam tulisan berjudul "Identity Politics: Friend or Foe?" (2019).

Tapi dalam konteks FPI dan gerakan 212, politik identitas menjadi salah satu sumber perpecahan. Charlotte Setijadi dari Yusof-Ishak Institute mencatat bahwa demonstrasi anti-Ahok (BTP) yang digerakkan FPI dan ormas Islam lain bukan memboyong kesetaraan, mereka justru memperkuat polarisasi pada Pilkada Jakarta.

“Kesuksesan politisasi kasus penistaan agama menunjukkan bahwa faksi Islam konservatif semakin terbekali dengan dana yang cukup, terorganisasi, dan terkait dengan politik. Mereka mampu memobilisasi suara untuk pemilu. Kekuatan politik ini bisa jadi salah satu pertimbangan untuk Pilkada 2018 dan Pilpres 2019,” catat Charlotte dalam artikel berjudul "Ahok’s Downfall and The Rise of Islamist Populism in Indonesia" (2017).

Pilkada Jakarta 2017 akhirnya kian menguatkan peran FPI di panggung politik. Organisasi yang kerap melakukan aksi vigilantisme ini masih hidup hingga sekarang dan mungkin simpatisannya semakin bertambah. Siapa yang paling menangguk untung dari aktivitas ormas macam ini? Tentu saja para elite politik.

Related

News 5393392663158426101

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item