Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan (Bagian 1)

Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan

Naviri Magazine
- Peninjauan Kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia. 

Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan Pengadilan Negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan Pengadilan Tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat Mahkamah Agung), atau putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). 

PK tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, apabila putusan itu berupa putusan yang menyatakan terdakwa (orang yang dituntut dalam persidangan) bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. 

Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa, yaitu persidangan pada Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi pada Mahkamah Agung. 

Dalam upaya hukum biasa, kasasi Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. 

PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung, apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan hakim dalam memutus perkara, ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah diungkapkan dalam persidangan.

Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan

Sejarah

Konsep yang serupa dengan Peninjauan Kembali telah ada ketika Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (1847-1940). Pada masa itu, konsep memeriksa kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dikenal dengan istilah Herziening van Arresten en Vonnissen, dengan lembaga herziening sebagai pelaksana proses pemeriksaan. 

Ketentuan pelaksanaan herziening diatur dalam Reglement of de straf vordering yang merupakan hukum acara pidana yang berlaku pada R. V. J. pada masa Hindia Belanda.

Istilah Peninjauan Kembali dalam perundang-undangan nasional mulai dipakai pada Undang-Undang No 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 15 undang-undang tersebut, disebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang. 

Permohonan PK dalam sistem peradilan umum di Indonesia diterima atau dilaksanakan oleh Mahkamah Agung melalui Lembaga Peninjauan Kembali (Lembaga PK). 

Pada perkembangannya, keberadaan Lembaga PK dalam sistem peradilan di Indonesia mengalami tahap pasang-surut dalam arti kadang aktif kadang tidak. Sekitar tahun 1970-an, Lembaga PK mengalami kevakuman (tidak aktif) dalam praktik peradilan di bawah Mahkamah Agung. 

Lembaga PK kembali aktif dalam sistem peradilan Indonesia pada tahun 1980-an, setelah terkuak kasus peradilan sesat "Sengkon-Karta" yang menghebohkan dunia hukum pidana Indonesia saat itu.

Kasus Sengkon-Karta adalah kasus pembunuhan seorang penjaga warung kecil beserta istrinya di Desa Bojongsari, Bekasi, dengan tersangka Sengkon dan Karta pada tahun 1974. Sesaat sebelum meninggal, diceritakan bahwa penjaga warung membisikkan nama Sengkon pada saksi yang membawanya ke rumah sakit. 

Sengkon dikenal sebagai preman di wilayah tempat kejadian, dan selalu bekerja bersama rekannya yang bernama Karta. Setelah kejadian pembunuhan, Sengkon dan Karta ditangkap polisi, kemudian menjalani proses hukum. Di pengadilan, Sengkon dan Karta masing-masing dihukum 7 dan 12 tahun penjara. 

Terhadap putusan pengadilan tersebut, Sengkon mengajukan banding namun ditolak, sedangkan Karta menyatakan menerima. Enam tahun kemudian, saat berada di penjara, Sengkon dan Karta bertemu dengan Gunel, yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan terhadap penjaga warung beserta istrinya di Bekasi. 

Berbekal pengakuan Gunel, Sengkon dan Karta dengan dibantu pengacara Albert Hasibuan, mengajukan permohonan untuk membuka kembali kasusnya kepada Mahkamah Agung. Bukti pengakuan Gunel membuat Prof. Oemar Seno Adji (ketua Mahkamah Agung saat itu) mengupayakan cara untuk membebaskan Sengkon dan Karta, karena diyakini tidak bersalah.

Pada akhirnya, Sengkon dan Karta dibebaskan dengan upaya hukum Peninjauan Kembali. Atas kasus Sengkon-Karta, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali, yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini.

Prinsip umum PK

Prinsip ini diatur dalam Pasal 266 ayat 3 KUHAP yang berbunyi “pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.” 

Mahkamah Agung tidak diperkenankan menjatuhkan putusan yang hukuman pidananya melebihi putusan pengadilan yang diajukan PK. Prinsip ini sesuai dengan tujuan diadakannya Lembaga PK, yaitu untuk memenuhi hak pemohon untuk mencari keadilan. 

Dengan upaya PK, terpidana diberi kesempatan untuk membela kepentingannya, agar terbebas dari ketidakbenaran penegakan hukum.

PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi

Secara normatif, undang-undang mengatur bahwa PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi (pelaksanaan putusan). Berdasarkan Pasal 23 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2004 dan Pasal 67 UU MA, objek permohonan upaya hukum PK adalah suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (BHT). 

Hal ini berarti bahwa saat putusan BHT dijatuhkan, terdakwa telah berubah status hukumnya menjadi terpidana. Putusan pengadilan yang BHT demikian tidak terpengaruh dengan proses PK yang diajukan, sehingga tetap dilaksanakan.

PK dapat dilakukan berkali-kali

Dalam Pasal 268 ayat 3 KUHAP, dijelaskan bahwa PK terhadap suatu putusan pengadilan hanya dapat dilakukan satu kali. Pada tahun 2013, Antasari Azhar mengajukan uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi ke MK dilakukan untuk menilai apakah suatu pasal atau undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). 

Antasari, yang merupakan terpidana 18 tahun dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, merasa dirinya belum mendapat keadilan dengan upaya PK yang pernah ia lakukan. 

Dalam persidangan uji materi tersebut, terdapat perdebatan mengenai keadilan dan kepastian hukum. Apabila PK dapat dilakukan berkali-kali, maka kepastian status hukum seseorang sukar ditentukan. 

Yusril Ihza Mahendra, yang tampil sebagai saksi ahli dalam sidang uji materi di MK, menerangkan bahwa PK berkali-kali adalah dalam rangka mencari keadilan materil. 

Baca lanjutannya: Mengenal Peninjauan Kembali Dalam Urusan Pengadilan (Bagian 2)

Related

Tips 2098232427971289535

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item