Black Panther dan Masa Depan Kesetaraan Umat Manusia di Dunia

Naviri Magazine - Kini, tidak aneh rasanya melihat “Afrofuturisme” menghiasi tajuk New York Times atau bibir pembicara TV negara Barat. Bag...


Naviri Magazine - Kini, tidak aneh rasanya melihat “Afrofuturisme” menghiasi tajuk New York Times atau bibir pembicara TV negara Barat. Bagian besar dari pengakuan akan gerakan kultural dan filosofis ini adalah kesuksesan besar film Black Panther. 

Film blockbuster Marvel tersebut menceritakan seorang raja dan petarung bernama T’Challa yang mengatur sebuah negara Afrika bernama Wakanda. Plot film membahas idealisme politik T’Challa dan radikalisme politik sepupunya Erik “Killmonger” Stevens. 

Negeri fiksi film ini adalah sebuah utopia kulit hitam, menampilkan teknologi canggih, ekualitas gender, dan masyarakat cerdas yang berhasil menolak kolonialisme dan imperialisme Eropa.

Di tengah kesengsaraan yang dialami kaum kulit hitam di benua Afrika dan diaspora Afrika, mulai dari isu perubahan iklim, krisis pengungsi hingga kekerasan yang dilakukan polisi dan kesenjangan pendapatan, Wakanda menampilkan kedambaan kita semua akan sesuatu yang menembus isu-isu penindasan dan pengabaian rasial. 

Namun biarpun Wakanda dan figur pahlawannya kini menjadi subyek utama yang orang kaitkan dengan Afrofuturisme, gerakan ini tidak lantas berhenti di sini. Sesungguhnya, Afrofuturisme lebih dari sekedar estetika dan hiburan—namun sebuah proyek berjalan tentang kegigihan teman-teman berkulit hitam. 

Filosofi sosial pan-Afrikanisme yang terus berkembang telah membantu membesarkan revolusi dan perubahan sosial di masa lalu dan sudah pasti akan berperan dalam perlawanan di masa mendatang.

Revolusi Haiti bisa dibilang adalah asal muasal spiritual Afrofuturisme sebagai bentuk pemberontakan dunia nyata. Pemberontakan budak Afrika dimulai pada 1791, di wilayah kolonial Perancis, Saint-Domingue, lewat sebuah upacara voodoo di bawah sinar bulan. 

Pada 1804, para kaum revolusioner berhasil melawan kekuatan kolonial. Lebih dari 50 tahun sebelum Amerika Serikat mengakhiri Perang Saudara, Haiti menjadi negara pertama dalam sejarah dunia yang terbentuk sebagai hasil pemberontakan warganya yang diperbudak.

Revolusi ini menjadi sumber imaginasi spekulatif warga kulit hitam mengidolakan kebebasan dan otonomi yang menginspirasi figur seperti Denmark Vesey, yang memulai pemberontakan budak di Charleston, South Carolina pada 1822; Marcus Garvey, seorang peyakin pan-Afrikanisme yang mencoba mendirikan kekuatan bagi orang-orang diaspora Afrika di awal abad 20; Kwake Nkrumah, perdana menteri pertama Ghana setelah negara tersebut meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1957; dan pemimpin hak asasi Amerika 1960an seperti Malcolm X dan Huey P. Newton, yang menyerukan pembelaan diri melawan kekerasan rasisme. 

Berkat kemenangan awal Haiti, para pemimpin tersebut bisa memimpikan apa yang disebut visioner awal Afrofuturis, W.E.B Du Bois sebagai “garis warna,” yang membuat kita merasa terasing bahkan di negara tempat kita lahir dan besar. 

Lima puluh dua tahun setelah penciptaan karakter buku komik Black Panther dan pembentukan Black Panther Party, para peyakin Afrofuturisme terus mencari kekuatan diri. Inilah yang mendorong jutaan orang kulit hitam ke bioskop untuk mengalami mitos Wakanda, tempat yang belum tersentuh oleh perdagangan budak transatlantik atau kolonialisme—sebuah tempat yang tidak mungkin dieksploitasi, ditaklukan, atau digentrifikasi. 

Tapi lebih dari sekadar alat penjual tiket bioskop, Afrofuturisme masih merupakan sebuah gerakan nyata yang menginspirasi. Penduduk kulit hitam dari seluruh dunia berusaha mewujudkan janji Afrofuturisme di dunia nyata hingga kini, dan mereka melakukannya dengan sensibilitas pan-Afrika.

Misalnya, pengusaha Isaac Muthui kini tengah mengembangkan Nurucoin, sebuah mata uang sintetik menggunakan teknologi blockchain yang nantinya bisa digunakan warga Afrika di seluruh benua untuk memisahkan diri mereka dari ketidakstabilan sistem finansial internasional Barat. 

Sama seperti Revolusi Haiti, inti dari ide ini adalah untuk menciptakan masa depan bagi bangsa kulit hitam yang terlindung dari tirani mereka yang berusaha menindas.

Dan biar pun teknologi canggih yang ditemukan karakter Afrika di film Black Panther terlihat terlalu mengada-ada bagi beberapa orang, faktanya banyak negara Afrika saat ini berinvestasi besar di penemuan teknologi dan ilmiah. Nigeria, Ghana, dan Afrika Selatan semuanya memiliki agensi luar angkasa dan meluncurkan satelit mereka sendiri. 

Beberapa orang mungkin akan mencemooh upaya-upaya ini, tapi upaya-upaya ini praktis memberikan negara-negara ini otonomi nyata perihal isu-isu yang menjadi kekhawatiran mereka. Misalnya, banjir telah merusak Nigeria dalam beberapa tahun terakhir, membunuh ribuan orang dan menghempaskan jutaan orang. 

Cuaca ekstrem ini berhubungan dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh pembuangan gas emisi berlebihan dari negara seperti AS dan Cina. Tapi lewat program luar angkasanya, Nigeria memiliki alat untuk melawan itu semua. Satelit negara tersebut memberikan akses untuk dokumentasi dan memonitor pola iklim, memperbarui peta, dan melacak populasi.

Tapi yang paling menarik dari Afrofuturisme di dunia nyata adalah bagaimana etosnya menginspirasi warga berkulit hitam untuk bersatu dan memperkuat ketergantungan. 

Di Haiti, pada akhir abad 18, seruan kebebasanlah yang menyatukan warga kulit hitam untuk memberontak dan menginspirasi pemimpin masa depan. Kini, di desa Awra Amba di utara Etiopia, keinginan untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan mendorong orang untuk membentuk komunitas progresif baru demi mencapai utopia Afro-sentrik abad 21 versi mereka sendiri.

Dipimpin oleh pemimpin egalitarian, penduduk desa Awra Amba menolak konsep peran tradisional gender. Mendorong perempuan untuk sama aktifnya bekerja dengan laki-laki telah membantu desa mereka menjadi lebih produktif dibanding komunitas-komunitas tetangga. 

Rata-rata pendapatan mereka dua kali lipat lebih besar dibanding pendapatan rata-rata di wilayah tersebut. Dan mereka menggunakan keuntungan tersebut untuk berinvestasi di pelayanan kesehatan umum, sekolah, dan perawatan kaum manula, memastikan generasi berikutnya akan lebih sejahtera dari generasi pendahulunya.

Komunitas dan inisiatif inovatif dan progresif macam ini bisa ditemukan di banyak diaspora dan benua Afrika. Eksistensi mereka menjadi pengingat bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tidak berhenti di Haiti pada 1804, atau Amerika pada 1865, atau di revolusi sosial Afrika Selatan yang tidak tuntas pada 1994. 

Ketertarikan besar terhadap isu ini yang dihasilkan Black Panther telah menyalakan api Afrofuturisme dan menjadi sinyal bahwa akan semakin banyak upaya-upaya untuk menentukan nasib sendiri.

Related

Science 1054026989471934442

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item