Ternyata MK Terbelah Saat Hadapi Permohonan Presidential Threshold Rizal Ramli


Naviri Magazine - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap aturan ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) yang diajukan Rizal Ramli. 

Ternyata, dari 9 hakim konstitusi, 4 di antaranya menilai permohonan uji materi terhadap aturan presidential threshold yang diajukan Rizal Ramli layak diadili.

Keempat hakim MK yang setuju permohonan Rizal Ramli diadili adalah Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih. Selain Rizal Ramli, ikut menjadi pemohon Abdulrachim Kresno sebagai pemohon II.

"Pertama, bahwa Pemohon II adalah warga negara yang terdaftar sebagai pemilih dalam pemilihan umum memiliki hak untuk memilih (right to vote) dan mendapatkan sebanyak mungkin pilihan pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang akan menyelenggarakan pemerintahan," kata Saldi Isra-Suhartoyo-Manahan-Enny dalam dissenting opinion di putusan MK.

Kedua, bagi Abdulrachim Kresno, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) berpotensi mengabaikan hak konstitusional Abdulrachim Kresno yang menjadi terbatas memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Fakta empirik yang dikemukakan, akibat ambang batas pencalonan presiden, penyelenggaraan pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019 hanya memunculkan dua pasangan calon dengan calon presiden yang sama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

"Ketiga, bahwa selain kedua alasan di atas, ditambahkan Pemohon II, penerapan ambang batas pencalonan presiden dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyingkirkan pesaing atau calon penantang di pemilihan presiden," ujarnya.

Menurut 4 hakim konstitusi itu, berdasarkan berbagai kasus serupa di MK, khususnya bagian kedudukan hukum, semua pemohon berada pada titik awal berpijak yang nyaris sama, yaitu merupakan pemilih. 

Bagi mereka, hak pilih mereka sebagai warga negara menjadi terbatas atau mempersempit kontestasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden selama norma ambang batas untuk pengusulan calon presiden (presidential threshold) tetap dipertahankan.

"Tidak hanya itu, sebagian dari Pemohon dalam permohonan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 222 UU 7/2017 menyebabkan mereka tidak mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana logika yang diterangkan oleh Pemohon II dalam permohonan a quo," paparnya.

"Oleh karena uraian kedudukan hukum para Pemohon dalam berbagai permohonan tersebut memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK juncto Pasal 3 PMK 6/2005, Mahkamah secara konsisten telah menyatakan bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan tersebut," sambungnya.

Secara substantif, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum memang menjadi dasar kedudukan hukum, baik aktual maupun potensial, bagi partai politik. Kedudukan demikian tidak dapat dilepaskan dari right to be candidate.

"Namun demikian, dalam konteks kedudukan hukum pula, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 juga mengandung right to vote bagi setiap warga negara yang mempunyai hak untuk ikut memilih dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden," terangnya.

Dalam batas penalaran yang wajar, kata Saldi-Manahan-Enny-Suhartoyo, pendapat tersebut tidak terlepas dari hakikat konstruksi normatif Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang meletakkan dua kepentingan secara berbarengan. 

Yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) sebagai hak konstitusional warga negara yang selama ini jadi roh pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam pengujian norma undang-undang dalam ranah pemilihan umum.

"Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, demi melindungi hak konstitusional warga negara, kami berpendapat tidak terdapat alasan yang mendasar untuk menyatakan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan a quo. 

“Karena itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi memberikan kedudukan hukum bagi Pemohon II untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan diberikannya kedudukan hukum bagi Pemohon II, Mahkamah Konstitusi seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan yang diajukan Pemohon II," terang Saldi-Manahan-Enny-Suhartoyo.

Namun apa daya, suara Saldi-Manahan-Enny-Suhartoyo kalah oleh lima hakim MK lainnya. 

Yaitu Ketua MK Anwar Usman, Wakil Ketua MK Aswanto, hakim konstitusi Arief Hidayat, hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh, dan hakim konstitusi Wahiduddin Adams.

Atas putusan itu, Rizal Ramli kecewa. Menurutnya, MK gagal memahami esensi demokrasi.

"Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami," kata Rizal Ramli kepada wartawan. 

Related

News 4445565800943036689

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item