Ada yang Jatuh Cinta tapi Tidak Menikah, Ada Pula yang Menikah Tanpa Cinta


Naviri Magazine - Banyak orang mendambakan kehidupan cinta yang selalu bergairah hingga ajal menjemput. Konsep cinta romantis semacam itu rupanya penemuan baru. Sebelum 300 tahun silam, tak banyak orang yang menikah karena cinta, sebagaimana ditunjukkan sejarawan Stephanie Coontz dalam buku Marriage, a History: How Love Conquered Marriage (2005).

Coontz mengawali Marriage, a History dengan ilustrasi tentang pernikahan dari George Bernard Shaw, seorang dramawan dan kritikus sastra asal Irlandia. Bagi Shaw, pernikahan adalah sebuah institusi yang menyatukan dua orang dalam sebuah pengaruh nafsu yang paling gila dan paling sementara. 

Pemikiran Shaw didasari oleh sumpah antara dua insan yang sedang mabuk asmara, bahwa mereka akan terus bersama sampai ajal menjemput.

Dalam catatan Coontz, berbagai masyarakat di dunia pantang menempatkan perasaan di atas komitmen yang lebih penting, misalnya komitmen terhadap orangtua, saudara kandung, sepupu, tetangga, atau Tuhan.

Masyarakat India Kuno, misalnya, memandang cinta sebelum menikah sebagai tindakan yang tidak dibenarkan, bahkan bisa dikatakan antisosial. Di Cina, lanjut Coontz, cinta pernah dianggap sebagai tanda kegilaan yang bisa diobati dengan menikah. Suami-istri bahkan bisa dipaksa cerai oleh keluarganya apabila keduanya dimabuk cinta, hingga mengganggu pekerjaan sehari-hari.

Pada abad ke-12, Andreas Capellanus, seorang penasihat spiritual Maria sang penguasa daerah Champagne dan Troyes di Perancis, menulis risalah tentang prinsip cinta yang santun. Bagi Capellanus, perkawinan bukan alasan yang nyata untuk mencintai.

Pada zaman Capellanus, umumnya orang menikah dengan alasan ekonomi atau politik. Cinta tak ditemukan dalam perkawinan, melainkan saat orang berhubungan dengan selir.

Melalui buku itu, Coontz juga mengingatkan kisah cinta Peter Abelard, seorang biarawan Prancis, dengan biarawati Notre Dame bernama Heloise. Mereka berdua kawin lari dan tak menikah hingga dikaruniai seorang anak.

Mulanya, Abelard mengajak Heloise untuk menikah diam-diam agar tak hidup dalam dosa. Usulan itu ditolak Heloise. Alasannya, pernikahan tak hanya berbahaya bagi karier Abelard, tapi juga untuk cinta mereka.

Aaron Ben-Zeev, dalam artikel di Psychology Today, mengemukakan bahwa percintaan yang penuh gairah menjadikan pernikahan sebagai prioritas di masa kini. Di sisi lain, karena cinta romantis pula pernikahan menjadi sesuatu yang labil dan serba tidak pasti. 

Jika perasaan itu sudah hilang, orang akan berpikir untuk meninggalkan pasangan—atau, paling tidak, berusaha berkompromi. Ben-Zeev adalah seorang pengajar filsafat di Universitas Haifa, Israel. Bukunya yang berjudul The Arc of Love: How Our Romantic Lives Change over Time terbit tahun lalu.

Cinta bukan esensi pernikahan

Cinta sering dipandang sebagai esensi pernikahan. Ben-Zeev memaparkan dua alasan untuk menyanggahnya. Alasan pertama, pernikahan adalah sebuah kerangka kehidupan bersama, yang melibatkan banyak faktor lain. Yang kedua, cinta yang penuh gairah hanyalah pengalaman jangka pendek.

Tim Lott, kolumnis Guardian untuk isu-isu keluarga, bahkan meragukan ada pernikahan yang bahagia setelah melihat angka perceraian yang cukup tinggi. Lott bahkan menaruh curiga pada para pasangan yang hingga kini masih tetap bersama. Di mata Lott, sebagian pasangan memilih bertahan karena anak, uang, atau takut kesepian.

Lott menjadikan kehidupan pernikahannya sendiri sebagai contoh. Pernikahan pertamanya gagal, tapi lama setelah itu ia kembali merajut kisah dengan orang yang berbeda.

Menurut Lott, masalah utama dalam sebuah pernikahan adalah menghabiskan waktu bersama dengan satu orang selama bertahun-tahun, dalam hubungan yang rentan perselisihan. Walhasil, hubungan pernikahan tak lagi soal bahagia dan tidak bahagia, tapi tentang akomodasi dan negosiasi.

Lott menyebut tiga kunci utama dalam kehidupan pernikahan. Pertama, komunikasi yang baik. Kedua, rasa hormat yang rupanya lebih penting ketimbang cinta. Sebab, cinta bisa datang dan pergi, tetapi rasa hormat bisa bertahan. Ketiga, kepercayaan, yang ternyata merupakan fondasi yang paling sulit dibangun, khususnya bagi orang yang pernah kecewa oleh hubungan. 

Kepercayaan di sini tak melulu soal perselingkuhan, tapi janji kecil yang dilanggar, niat buruk, dan harapan yang tak terwujud.

Yang tak kalah penting adalah aspek sosial dan ekonomi, di mana kesejahteraan pasangan menjadi salah satu faktor vital dalam pernikahan. Dalam survei "Love and Money" yang diadakan TD Bank, ditemukan 78% responden merasa nyaman berbicara tentang uang bersama pasangannya, sementara 36% pasangan berdebat soal uang setiap bulan.

Sebanyak 90% pasangan yang bahagia membahas keuangan mereka setiap bulan, sedangkan 68% pasangan yang tidak bahagia, tidak melakukan hal tersebut. Dari situ, survei menyimpulkan bahwa salah satu kunci kebahagiaan hubungan adalah percakapan.

Related

Romance 5803412834152258575

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item