Fakta di Balik Hubungan Panas AS dan Iran, dari Dulu Sampai Sekarang (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta di Balik Hubungan Panas AS dan Iran, dari Dulu Sampai Sekarang - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pemerintahan Trump menawarkan kesepakatan baru, poinnya ialah meminta Iran agar menghentikan program nuklir, serta menarik pasukan dari Suriah. Tawaran AS ditolak Iran. Walhasil, AS makin beringas dalam menjatuhkan sanksi ekonomi yang menyasar penerbangan, perbankan, hingga sektor minyak, demikian lapor Al Jazeera.

Dampaknya tak main-main. Mengutip Bloomberg, perekonomian Iran seketika limbung. Embargo minyak, misalnya, membikin harga bensin melonjak drastis pada akhir 2019 sehingga memicu gelombang protes besar-besaran di Iran. Masyarakat merasa ditipu pemerintah. Kesepakatan nuklir yang dianggap akan memperbaiki hidup orang banyak ternyata justru berbuah malapetaka dengan munculnya sanksi dari AS.

Di saat bersamaan, AS tak mengendurkan tekanan. Mereka memasukkan Garda Revolusi ke dalam daftar organisasi teroris asing, di samping menuduh Iran sebagai aktor di balik rentetan serangan terhadap pesawat tanpa awak milik AS di Selat Hormuz pada Juni 2019; ledakan kapal di Teluk Persia; hancurnya pipa minyak Saudi Aramco; dan yang terbaru agresi ke pangkalan militer Irak di Kirkuk yang menewaskan kontraktor sipil dari AS.

Dinamika tersebut lalu mendorong AS untuk melancarkan balasan yang tak kalah keras: menghabisi nyawa jenderal Garda Revolusi.

Menurut studi Kayhan Barzegar, “Roles at Odds: The Roots of Increased Iran-US Tension in the Post-9/11”, relasi panas AS-Iran disebabkan oleh perebutan pengaruh kedua negara di Timur Tengah. Konflik Iran-AS, terang Barzegar, adalah gambaran tentang pertikaian politik-ideologis.

Pasca invasi AS ke Irak pada 2003, Iran perlahan membangun pengaruhnya dan membuahkan hasil di sejumlah negeri seperti Afghanistan, Lebanon, hingga Palestina. Pada saat bersamaan, AS merasa terancam sebagai pihak yang memiliki jangkauan hegemonik global.

Timur Tengah turut panas

Perang berskala besar diprediksi tak akan terjadi dalam waktu dekat. Pasalnya, kekuatan Iran tak sebanding dengan milik AS dan sekutu-sekutunya, seperti Arab Saudi hingga Israel. Meski demikian, bukan berarti Iran berpangku tangan.

Ilan Goldenberg, dalam “Will Iran’s Response to the Soleimani Strike Lead to War?”, yang dipublikasikan Foreign Affairs (2020) menulis bahwa Iran akan merespons serangan AS dengan hati-hati dan tak terburu-buru. Iran akan “memilih pendekatan yang dianggap efektif” dan “berusaha menghindari perang habis-habisan dengan AS”. Ketika itu sudah terjadi, maka kekacauan dipastikan muncul di kawasan Timur Tengah.

Iran sudah belasan tahun membangun pengaruhnya di beberapa negara Timur Tengah seperti Lebanon, Yaman, Suriah, hingga Irak, melalui Soleimani. Oleh sekutunya, Soleimani dipandang sebagai sosok pemimpin yang dihormati.

Tewasnya Soleimani, terlebih akibat serangan AS, bakal membangkitkan hasrat balas dendam Iran dan sekutu. Pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah, misalnya, sudah menyerukan akan “mengibarkan bendera perlawanan di semua medan peran [Timur Tengah],” demikian yang diwartakan Financial Times.

Artinya, jaringan proksi Iran yang termanifestasi lewat Hezbollah dan milisi Syiah, ditambah dengan kehadiran satuan elite macam Garda Revolusi dan Qurds, diprediksi akan melancarkan serangan balasan yang menyasar serdadu, warga sipil, pejabat diplomatik, hingga fasilitas militer AS di Timur Tengah.

Tak hanya di Timur Tengah, serangan juga berpotensi melebar ke Afrika sampai Amerika Latin, mengingat, mengutip laporan Alex Ward berjudul “A Nasty, Brutal Fight”: What a US-Iran War Would Look Like” yang terbit di Vox (2020), Iran diperkirakan masih memiliki sel-sel tidur di sana yang mampu “bangkit kembali dengan cara dramatis sekaligus keras".

Vox mencontohkannya dengan kasus penyerangan terhadap pusat kegiatan warga Yahudi di Buenos Aires, Argentina, pada 1994. Serangan dilakukan oleh kelompok teroris yang berafiliasi dengan Iran.

Teror belum berhenti sampai situ. Ward menambahkan bahwa kekacauan juga akan merembet ke ranah siber. Iran, bisa dibilang, merupakan salah satu ancaman utama AS di dunia maya. Sejak 2011, ambil contoh, Iran sudah menyerang jaringan siber milik puluhan bank AS, mulai dari JPMorgan Chase hingga Bank of America. Serangan itu membuat bank tidak maksimal dalam beroperasi.

Masih menurut catatan Vox, Iran tercatat pernah melepas malware ke jaringan Saudi Aramco, perusahaan minyak milik Arab Saudi, dan mengakibatkan lenyapnya 75 persen dokumen, surat elektronik, serta berkas lainnya dari komputer milik perusahaan hilang dan digantikan gambar bendera AS yang dilalap api.

Related

News 6693442958471328790

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item