Kisah Ericsson dan BlackBerry, Penguasa Pasar Ponsel Dunia yang Kini Dilupakan


Naviri Magazine - Pada dekade 1990-an, Ericsson memiliki kisah yang serupa dengan Samsung saat ini: penguasa ponsel. Bersama Nokia dan Motorola, Ericsson menggenggam ceruk terbesar dunia ponsel, bahkan menjadi motor utama perkembangan teknologi ponsel. 

Ponsel T28 yang dibuat Ericsson, misalnya, sukses membungkam para hadirin CeBIT Telecom Fair—salah satu konferensi teknologi terbesar di Eropa—yang digelar di Hanover, Jerman, pada 1998 silam. Dari di sisi bisnis, sebut Nils Rydbeck, Ketua Laboratorium Ericsson, T28 “terjual gila-gilaan di pasaran”.

Tapi, kesuksesan Ericsson di dunia ponsel berakhir. T28, ponsel yang laris di pasaran, belakangan diketahui punya masalah: desain flip-up rupanya mudah rusak. Tak hanya itu, berbagai jenis ponsel lain yang dibuat Ericsson, tulis Svenolof Karlsson untuk laman resmi Ericsson, “membuat konsumen bosan, dan di saat bersamaan Nokia muncul” dengan desain-desain cemerlang dan murah meriah. 

Maka, usai Laporan Keuangan Ericsson tahun 1999 menyatakan bahwa lini bisnis ponsel mereka turun 63 persen secara pendapatan, dari 6,3 miliar kronor (sekitar $238 juta) menjadi 2,3 miliar kronor, Komisaris Ericsson John Peter Leesi memutuskan perusahaannya “memilih berganti tujuan utama”.

Di awal 2000, jumlah pegawai Ericsson yang menangani lini bisnis ponsel berjumlah 17.000 orang, dipangkas menjadi 5.000. Lalu, sebagaimana dilaporkan Scott Thurm untuk The Wall Street Journal, Ericsson memilih menjual bisnis ponselnya kepada Flextronics pada 2001 silam.

Namun, Ericsson rupanya tak ingin benar-benar pergi dari dunia ponsel dan malah berkongsi dengan Sony untuk membentuk “Sony Ericsson”. Sony dipilih karena perusahaan asal Jepang tersebut, kembali merujuk Svenolof, “memiliki merek yang amat kuat di pasar global, misalnya melalui Walkman dan Cybershot. Sony pun memiliki kekuatan besar di bidang video, game, dan musik”.

Dengan menciptakan ponsel bersama Sony, Ericsson bermimpi menjadikan ponsel sebagai pintu gerbang bagi para penggunanya untuk turut mencicipi kehebatan Sony. Per 1 Oktober 2001, kongsi itu benar-benar terbentuk dengan penguasaan 50-50—meskipun dalam sejarahnya Ericsson berpengalaman menjual 43 juta unit ponsel, sementara Sony baru mampu menjual 7 juta unit. 

Dalam kerjasama ini, T65 menjadi ponsel pertama berlabel “Sony Ericsson”. Tiga tahun berselang, mereka merilis K300i.

Sialnya, pada pertengahan dekade 2000-an, definisi ponsel berubah. Melalui perusahaan asal Kanada bernama Research in Motion (RIM)—lalu berganti nama menjadi BlackBerry—ponsel-ponsel Sony Ericsson terlihat usang. 

Hans Vestberg, Chief Executive Ericsson, dalam keterangannya untuk Financial Times, menyebut bahwa dunia ponsel “perlahan bergerak ke arah smartphone”, meninggalkan ponsel dalam arti konvensional, alias feature phone. Dan karena Ericsson kala itu telah menjadi perusahaan utama soal penciptaan infrastruktur telekomunikasi, ujar Vestberg, “memiliki bisnis ponsel (yang dijual langsung ke masyarakat) sudah tidak terlalu penting karena jaringan telekomunikasi (buatan kami) digunakan semua produk”.

Akhirnya, berbekal mahar senilai 1,05 miliar euro, Sony mengambil alih Sony Ericsson secara keseluruhan pada 2011. Ericsson, yang pernah mengusai dunia ponsel, akhirnya benar-benar meninggalkan bisnis ponsel.

Kisah meninggalkan bisnis ponsel bukan cuma milik Ericsson. Pada 2005, Siemens menjual lini bisnis ponsel mereka ke BenQ, usai tekor 500 juta euro setahun sebelumnya. BlackBerry, mantan penguasa ponsel pintar, juga tak lagi memproduksi ponsel sejak 2016 dan memilih melisensikan mereka ke TCL. 

Gulung tikarnya bisnis ponsel BlackBerry, sebagaimana ditulis Jacquie McNish dalam buku Losing the Signal: The Untold Story Behind the Extraordinary Rise and Spectacular Fall of Blackberry (2015) terjadi mula-mula karena BlackBerry kukuh “tidak ada sesuatu yang segera perlu dilakukan” ketika Android dan iPhone muncul.

Kisah paling legendaris soal hengkangnya sebuah perusahaan dari bisnis ponsel, tentu, tertuju pada Nokia. Memilih bertaruh melalui Windows Phone, Nokia jatuh hingga harus merelakan bisnis ponselnya dijual ke Microsoft dan merek dagangnya ke HMD Global.

Kini, kisah serupa muncul kembali. LG dan Huawei dikabarkan berencana menjual lini bisnis ponsel mereka.

Related

Smartphone 3198625644519272563

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item