Kisah Orang-orang yang Dituntut Hukum Gara-gara Menulis Ulasan Buruk


Naviri Magazine - Pada September 2017, di Kota Edmonton, Kanada, seorang pria bernama David Dube yang kesal dengan pelayanan TechPro Computer Solutions, memutuskan untuk memberi bintang satu dari total lima bintang di Google. Dube mengatakan TechPro berjanji akan menghubunginya, namun ternyata tidak.

Tak terima, perusahaan menghubungi Dube dan memaksanya mengubah ulasannya di dunia maya. TechPro juga mengancam akan menuntut Dube sebesar $150.000 atas dasar tuduhan pencemaran nama baik.

Meski diancam, Dube tetap bersikeras menolak mengubah ulasannya itu. "Saya seharusnya tidak dihukum karena mengatakan yang sebenarnya," ujar Dube kepada CTV News. "Ini semua soal bagaimana Anda memperlakukan pelanggan Anda."

Di Kalamazoo, Michigan, Amerika Serikat, pada April 2010, sebuah perusahaan derek T&J Towing menuntut seorang mahasiswa bernama Justin Kurtz sebesar $750.000 atas tuduhan pencemaran nama baik, dilansir dari New York Times.

Perkaranya, mobil Kurtz yang terparkir di area parkir apartemen kena derek oleh perusahaan tersebut. Kurtz diminta membawa uang denda $118 jika hendak mengambil mobil. 

Kurtz yang merasa tidak melakukan kesalahan apapun meluapkan kemarahannya di sosial media dengan membuat halaman Facebook bertajuk "Warga Kalamazoo melawan T&J Towing". Tindakan itulah yang membikin perusahaan berang.

Nasib digugat perusahaan juga dialami oleh Yang Wen, seorang kritikus film di Cina. Pada Januari 2019 pengadilan di Distrik Chaoyang Beijing memutuskan Wen harus membayar denda sebesar 80.000 yuan atau senilai $11.800 sebagai ganti rugi pencemaran nama baik terhadap sebuah rumah produksi bernama Mahua FunAge.

Perusahaan swasta itu mempermasalahkan ulasan Wen terhadap film komedi mereka yang berjudul Goodbye Mr. Loser (2015). Wen menilai film tersebut menjiplak film Amerika tahun 1986 berjudul Peggy Sue Got Married. Dilansir dari Sixth Tone, Mahua FunAge tak terima dan menuduh Wen telah melakukan penyimpangan fakta serta penghinaan. Wen mendapat simpati publik yang menggalang dana untuk meringankan denda.

Di Indonesia satu dasawarsa lalu, Prita Mulyasari dituntut oleh sebuah rumah sakit karena curhatannya yang beredar di internet.

Pada 2008, ibu rumah tangga ini memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Omni Internasional di Tangerang, Banten. Merasa tak puas dengan pelayanan rumah sakit, Prita menulis keluh kesah di surel yang dikirimkan ke seorang teman dekat. Isi surel itu belakangan bocor di dunia maya. Pihak rumah pun sakit merasa tidak terima dengan ulasan Prita.

Kedua belah pihak sempat melakukan mediasi, akan tetapi menemui jalan buntu. Rumah sakit akhirnya melaporkan Prita ke kepolisian yang kemudian memprosesnya secara pidana.

Selama proses persidangan, Prita ditahan di Lapas Wanita Tangerang pada 2009 dan diwajibkan bayar denda tuntutan ratusan juta. Gerakan "Koin Untuk Prita" pun menggema. Para pegiatnya menggalang dana untuk melunasi denda yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan.

Kasus ini mendapat sorotan besar di jajaran politisi karena bertepatan dengan tahun pemilu. Pada 17 September 2012, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) Prita dan menganulir semua putusan pidana Pengadilan Negeri Tangerang. Prita dinyatakan bebas dari jerat hukum.

Perusahaan sangat paham bahwa satu ulasan negatif yang benar-benar buruk dapat meruntuhkan lima ulasan bagus di era digital. Bahkan ada perusahaan yang nekat memakai ulasan palsu (umum disebut "astroturfing"), untuk menaikkan reputasi. Tindakan tersebut sebenarnya rentan menyalahi hukum perlindungan konsumen karena informasi yang disampaikan tidak sesuai fakta.

Clay Calvert, pengajar Komunikasi Massa di University of Florida dalam esainya untuk The Conversation pada November 2015 mencatat, kadang beberapa perusahaan telah menyematkan sebuah klausul tersembunyi yang membatasi atau bahkan melarang konsumen mengkritik produk mereka. Klausul semacam ini biasanya sengaja ditulis dengan font berukuran kecil sehingga seringkali luput dari penglihatan konsumen.

Di Amerika Serikat, Kongres menyetujui diterbitkannya Consumer Review Freedom Act pada 2015 untuk melindungi ulasan konsumen dari tindakan kriminalisasi perusahaan. Undang-undang ini juga memperkuat Komisi Perdagangan Federal untuk menegakkan hukum ketika konsumen dirugikan oleh perusahaan. Namun, kekurangannya, aturan ini tidak mengakomodasi masalah ulasan palsu atau bayaran yang memuja-muji sebuah produk.

Related

International 2445113013538208070

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item