Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 4)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap - Bagian 3). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Angin sempat berhembus kala Joko Widodo naik jadi presiden pada 2014. Selama kampanye, Jokowi, yang mengaku menyukai puisi Widji Thukul, berjanji mengusut tuntas pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk penembakan misterius.

Janji tersebut tak pernah ditepati, sampai Jokowi menjabat di periode keduanya. Penyelesaian kasus petrus, begitu juga dengan pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya seperti Tragedi Semanggi, Talangsari, hingga pembunuhan Munir Said Thalib terus gelap gulita.

Kediktatoran Suharto yang tumbang pada Mei 1998, melahirkan babak baru dalam kehidupan Indonesia. Masyarakat bersiap menyambut terang cahaya setelah hidup dalam belenggu otoritarianisme selama lebih dari tiga dekade.

Kondisi di lapangan tak seindah yang dibayangkan. Orde Baru runtuh, tapi pengaruhnya masih terasa di kultur sosial dan politik sampai bagaimana cara aparat keamanan menangani persoalan.

Menjelang penyelenggaraan Asian Games 2018 lalu, praktik serupa petrus diambil kepolisian dalam rangka menciptakan ketertiban lewat Operasi Cipta Kondisi. Kapolri waktu itu, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, tanpa ragu memerintahkan jajaran di bawahnya untuk bertindak dengan pedal gas penuh. Bahkan, dia berani menyuruh aparat “menghabisi” para bandit kelas teri.

Ribuan personel pun dikerahkan guna memberangus aksi kriminal tingkat rendah. Ada sekitar 52 penangkapan yang diikuti penembakan. Mengakibatkan 41 orang terluka di bagian kaki dan sisanya tewas.

Praktik yang ditempuh kepolisian menjelang Asian Games, juga dengan kebijakan petrus semasa Orde Baru, dianggap bermasalah sebab mengambil pendekatan penyelesaian di luar pengadilan, atau kerap disebut sebagai extra judicial killing. Oleh banyak ahli hukum, praktik semacam ini melanggar ketentuan HAM internasional maupun regulasi nasional.

Di level internasional, misalnya, aksi sepihak tersebut tidak sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi pemerintah lewat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Sementara di tingkat nasional, taktik extra judicial killing menabrak aturan Undang-Undang Nomor 39 Tahun Tentang Hak Asasi Manusia.

"Pada dasarnya, setiap orang itu, apa pun latar belakangnya, punya hak untuk memperoleh pengadilan yang adil dan berimbang, atau fair trial," ungkap Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI). "Terlebih di hukum Indonesia mengenal konsep asas praduga tak bersalah."

Laporan tahunan YLBHI yang dipublikasikan 2019 kemarin, Reformasi Dikorupsi Oligarki, memperlihatkan statistik yang menempatkan polisi sebagai aktor pelaku paling tinggi dalam pelanggaran fair trial, yaitu sebesar 57 persen.

Lagi pula, kepolisian sendiri sebetulnya punya peraturan, termaktub dalam Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 dan Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, yang menerangkan bahwa penggunaan kekuatan dengan senjata api hanya boleh dilakukan selama anggota polisi tidak punya cara lain yang masuk akal guna menghentikan tindak jahat tersangka. Aturan ini bisa dibaca sebagai alarm: upaya penembakan adalah jalan terakhir serta ditujukan tidak untuk membunuh, melainkan menghentikan.

Asfinawati memprediksi kasus-kasus semacam ini berpotensi terus terulang mengingat ketiadaan transparansi data dari pemerintah, dan seringkali hukuman yang diberikan kepada anggota TNI atau polisi cuma sanksi disiplin, alih-alih pidana—bila sampai melukai atau menewaskan orang lain.

"Salah satu penyelesaiannya adalah perbaikan di internal kepolisian itu sendiri yang belum transparan dan belum tegas dalam menindak anggotanya yang melanggar aturan," pungkas Asfinawati.

Jejak petrus tak hanya dapat dijumpai di Indonesa masa sekarang saja. Pemandangan serupa juga muncul di Filipina di bawah kepemimpinan Rodrigo Duterte. Sejak diangkat jadi presiden pada 2016, dia menyerukan dengan lantang perang melawan narkoba. Dia menurunkan personel ke jalanan kota-kota besar, memburu para bandar sampai pemakai.

Baca lanjutannya: Kisah Penembakan Misterius di Indonesia yang Tak Pernah Terungkap (Bagian 5)

Related

Indonesia 8146433524679959656

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item