Mengapa Tentara dan Teroris Berani Mati? Ini Penjelasan Ilmiahnya


Naviri Magazine - Ketika seseorang bergabung dengan kesatuan militer, artinya dia telah menyetujui jika sewaktu-waktu ditugaskan untuk berperang. Dalam perang, tidak ada jaminan keselamatan, karena siapa pun dapat membunuh atau terbunuh. Artinya, ketika seseorang menjadi tentara, ia telah siap mati. 

Begitu pun dengan teroris. Kita membaca dan melihat aneka berita teror yang dilakukan orang-orang tertentu, yang kadang menggunakan bom bunuh diri. Peristiwa penabrakan menara WTC di Amerika pada 2001 juga diyakini sebagai aksi teroris yang juga merenggut nyawa sang teroris.

Mengapa tentara berani mati, dan—di sisi lain—teroris juga berani mati?

Pertama, kita bisa memperhatikan satu hal terlebih dulu, bahwa mereka yang berani mati seperti di atas, rata-rata kaum pria. Artinya, dari sisi ini, hormon pria ikut berperan. Kerusuhan dalam pertandingan sepakbola, misalnya, juga lebih banyak dan lebih sering melibatkan kaum pria. 

Ketika masih kecil, anak-anak lelaki juga suka bermain perang-perangan, sementara anak perempuan sangat jarang yang ikut permainan semacam itu. Sepertinya, pria memang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kaum wanita, sehingga mereka punya kecenderungan terhadap kekerasan. 

Teori evolusi mengaitkan kecenderungan semacam itu pada kebutuhan untuk memperoleh pasangan, dalam rangka memenuhi kebutuhan reproduksi. Namun, pada tataran yang lebih tinggi, kecenderungan itu juga berlaku untuk mempertahankan teritori atau wilayah kekuasaan. Selain itu, kecenderungan untuk menyerang umumnya juga lebih besar ketika seorang pria berada dalam satu kelompok.

Berkaitan dengan sentimen kelompok, penelitian mutakhir mengungkap bahwa perilaku agresif pria akan cenderung lebih galak ketika menghadapi orang lain di luar kelompoknya. Wanita juga memiliki sikap agresif, namun cenderung lebih bersifat individual. 

Perilaku semacam itu juga teramati pada simpanse jantan. Baik kaum pria maupun simpanse jantan sama-sama memiliki keterikatan yang lebih kuat terhadap identitas kelompok, sehingga lebih agresif saat bersama-sama menghadapi ancaman dari luar kelompok.

Profesor Mark van Vugt, ilmuwan yang meneliti hal ini, menyatakan, “Sebuah solusi untuk konflik, yang merupakan masalah paling umum di masyarakat, sampai sekarang masih sulit ditemukan. Salah satu alasannya karena tidak mudah mengubah pola pikir yang sudah berevolusi ribuan tahun lamanya.” Dengan kata lain, kekerasan memang sering kali dijadikan solusi untuk menyelesaikan konflik.

Kenyataan itu disinyalir karena adanya hormon seks pria, yaitu testosteron. Hormon tersebut di antaranya berfungsi memunculkan tanda-tanda seksual sekunder di masa pubertas, memicu tumbuhnya rambut-rambut halus di kemaluan, juga mempengaruhi perubahan suara pada remaja pria menjadi lebih berat. Wanita juga memproduksi hormon tersebut, namun kadarnya lebih sedikit dan tidak dominan sebagaimana hormon seks wanita yang lain—progesteron dan estrogen.

Karenanya, berdasarkan kenyataan di atas, salah satu latar belakang keberanian para tentara dan teroris adalah karena hormon pria yang mereka miliki. Tetapi penyebabnya tidak hanya itu. 

Penelitian di Amsterdam juga mengungkapkan bahwa, selain testosteron, hormon oksitosin juga berpengaruh pada keberanian mereka, sehingga para tentara atau teroris rela mati demi yang lain, karena berhubungan dengan insting yang sama seperti ibu yang melindungi anaknya.

Dalam pertempuran yang panas, para peneliti menemukan bahwa tubuh para tentara mengeluarkan unsur kimia, yang memunculkan perasaan sangat agresif pada pihak di luar kelompoknya. Efek itu ditemukan dalam hormon oksitosin, yang hadir saat individu melepaskan stres dan saat mereka bersosialisasi dengan orang lain. 

Oksitosin adalah hormon yang membantu dalam proses persalinan seorang ibu—merangsang kontraksi yang kuat pada dinding rahim, dan mempermudah serta membantu proses kelahiran. Seperti wanita yang mampu berjuang keras dan rela mati demi melahirkan bayinya, tentara di medan perang mengalami fenomena tak jauh beda.

Para ilmuwan menemukan bahwa oksitosin berhubungan dengan hormon cinta atau ikatan, yang membuat para tentara seperti seorang ibu dan bertindak agresif pada pihak musuh. Menggunakan permainan simulasi komputer, para peneliti melakukan tiga kali percobaan. 

Sejumlah relawan diberi semprotan hormon oksitosin, sementara sebagian lain diberi placebo. Hasilnya, para relawan yang mendapatkan semprotan oksitosin memiliki ikatan yang lebih cepat dan kuat dengan kelompok mereka, sekaligus lebih agresif pada pihak di luar mereka.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa dorongan oksitosin cenderung “mempertahankan” respon, menumbuhkan kepercayaan dan kerjasama kelompok, sekaligus agresif terhadap kelompok pesaing. Dr. Carsten De Dreu dari University of Amsterdam, menyatakan fenomena itu dikenal sebagai parochial alturism atau “merawat dan mempertahankan”. 

Dalam jurnal Science, ia menulis, “Oksitosin seperti pedang dengan dua sisi. Ia membuat kita sangat baik terhadap kelompok, tetapi begitu agresif dengan pihak luar.”

Dr. Dreu juga menyimpulkan bahwa produksi oksitosin yang meningkat pada waktu stres dan saat ibu melahirkan, telah berkembang karena adanya faktor kelangkaan makanan di kalangan tentara, sementara mereka tetap harus bertahan hidup. “Menjadi agresif untuk melawan musuh membuat orang menjadi pahlawan, patriot, dan setia pada kelompoknya sendiri,” tulisnya.

Sementara itu, Holly Arrow, ahli psikologi perang di University of Oregon, membenarkan bahwa oksitosin merupakan faktor penting yang membuat pria atau tentara bersatu, serta membuat mereka siap untuk mempertahankan kelompok. 

Kenyataan itu pula yang terjadi pada para teroris, sehingga mereka rela mati demi kelompoknya, tanpa peduli anak dan istri, apalagi orang lain di luar kelompoknya.

Universidad Nacional de Educacion a Distancia di Spanyol merekrut 506 mahasiswa mereka untuk mengikuti penelitian, yang kemudian membuktikan bahwa sebagian besar orang yang menganggap dirinya benar-benar menyatu dalam kelompoknya—seperti kelompok teroris—akan bersedia melakukan tindakan ekstrim, bahkan siap mati untuk kebaikan kelompoknya. 

Hal itu didasarkan pada perasaan “menyatu”, dan merasa jiwanya berkembang di dalam kelompok.

Lima ratus enam relawan itu diminta memberikan jawaban dalam kuesioner, dan setelah itu para peneliti mengidentifikasi partisipan sebagai kelompok “menyatu” dan “non-menyatu”. Kemudian, peneliti menilai perilaku pengorbanan diri dari kedua kelompok tersebut. Untuk menguji kesediaan partisipan yang berani mati demi kelompoknya, peneliti melakukan survai berdasarkan variasi berbeda dari Trolley Problem.

Trolley Problem adalah kuis dilema moral yang dibuat oleh filsuf Inggris, Judith Jarvis Thomas, pada 1967. Dalam kuis itu, orang diminta untuk memilih; apakah akan membunuh satu orang demi menyelamatkan lima orang asing dari tabrakan fatal, atau membiarkan semuanya mati.

Dengan variasi berbeda dari Trolley Problem, para peneliti di Spanyol tidak menguji pengorbanan diri demi orang asing, melainkan melakukan survai tentang pengorbanan diri untuk menyelamatkan anggota kelompoknya. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa mayoritas partisipan dalam kelompok “menyatu” siap untuk mengambil tindakan ekstrim, yaitu berani mati demi kelompoknya.

Sebanyak 75 persen dari mereka bersedia mati demi menyelamatkan nyawa lima anggota kelompoknya. Ketika diberi pilihan untuk mengorbankan anggota kelompok demi membunuh musuh, 63 persen dari mereka menjawab akan mengorbankan kelompok demi membunuh musuh. Dengan kata lain, mereka tidak keberatan diri dan keluarganya mati demi tujuan memerangi musuh.

Bill Swann, profesor psikologi di University of Texas, menyatakan, “Studi itu dapat memberikan wawasan baru dalam pola pikir kelompok dengan ideologi ekstremisme, ketika tindakan mengorbankan hidup sendiri untuk kelompok memiliki konsekuensi mengubah dunia.”

Bertahun-tahun lalu, Iwan Fals menyanyikan, “Andaikata dunia tak punya tentara, tentu tak ada perang yang banyak makan biaya.” Sekarang, sepertinya, dia juga perlu menyanyikan andaikata dunia tak punya teroris.

Related

Science 2950026186017447761

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item