Mengenal Gerakan Anti Kelahiran Anak, yang Berpikir Dunia Sudah Terlalu Sesak (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenal Gerakan Anti Kelahiran Anak, yang Berpikir Dunia Sudah Terlalu Sesak - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Savannah, 21 tahun, tak pernah sekalipun mendambakan seorang anak. Dia mengenal antinatalisme setelah bertemu lelaki yang kini jadi suaminya. 

“Awalnya, saya pikir pemikiran ini menyedihkan, tapi setelah apa yang terjadi beberapa tahun ini di kancah perpolitikan dunia, saya makin tertarik dengan cabang filsafat yang satu ini.” Savannah tinggal di Kentucky yang konservatif. Dia kesusahan hidup di tengah budaya antiaborsi sekitarnya.

"Ada kelakar yang bilang bahwa dalam hidup kita cuma perlu bayar pajak dan mati—kini rasanya, kita harus bayar pajak, punya anak dulu, baru mati,” katanya sambil mendesah. 

Baru-baru ini, suami Savannah berhasil menemukan seorang dokter yang berkenan melakukan prosesi vasectomy padanya, setelah dokter-dokter sebelumnya menolak karena menganggap suami Savannah akan “berubah pikiran.” Dua sejoli ini malah sudah menyiapkan sebuah pesta meriah untuk merayakan vasectomy pada suami Savvannah. 

“Kami akan minum champangne, wine, dan makan keju. Kami akan merayakan vasectomy ini dengan minum-minum. Sayangnya, keluargaku sangat ingin menjaga garis keturunan keluarga. Orang tua ingin cepat punya cucu. Susah sekali ngomong masalah ini dengan mereka.”

Kawan dan kerabat bukan satu-satunya pihak yang susah diajak ngobrol bagi para antinatalis. Mudah ditebak, kaum antinatalist kerap jadi sasaran perisakan daring. Laura dan Charlotte mengatakan bahwa bentuk rundungan yang paling sering mereka terima adalah kalimat “kenapa kalian tidak sekalian bunuh diri saja sekarang?”

“Cara kaum pro-kelahiran merespons pemikiran kami menunjukkan kalau mereka tak punya empati pada sesama manusia,” kata Laura. “Bunuh diri itu menyakitkan, dan kebanyakan kaum antinatalis tak mau itu terjadi di keluarga kami. Kami tak ingin menambah-nambah penderitaan di dunia ini.”

Sayangnya, depresi dan kecenderungan bunuh diri justru kerap ditemui dalam komunitas antinatalist, meski pada anggota yang kelihatannya baik-baik saja. 

“Kesan yang saya dapatkan, anggota komunitas kami kebanyakan suicide positive. Kira-kira begitulah,” ujar Kenqwi. "Pasalnya, kami punya semacam konsensus. Karena kami tak punya pilihan saat dilahirkan, setidaknya kami harus punya hak untuk menentukan bagaimana kami ingin mati, dan kapan kami akan mati.”

Charlotte menambahkan: "Menurut saya, pengidap depresi menemukan sisi-sisi menarik dari antinatalisme, karena di sinilah mereka pertama kali mendengar orang ngomong ‘cara pandang kalian terhadap dunia itu sudah benar.’ Padahal, kamu tak perlu depresi dulu untuk memahami antinatalisme. 

“Tetap saja, menurut saya, seseorang yang mengalami depresi adalah seorang realist betulan. Sepertinya, budaya kita meminggirkan pengidap depresi tanpa berusaha mendengar jalan pikiran mereka. Kita biasa berpikir ‘ada yang tak beres dari kamu, ayo kita obati.’”

Tapi bukankah terus-terusan melihat kehidupan sebagai sesuatu yang menyakitkan butuh perjuangan tersendiri? “Memang tak gampang punya cara pandang seperti ini,” kata Charlotte. 

“Susah untuk tak tenggalam dalam kegalauan. Namun, cara pandang ini membuat saya terbiasa menghargai hal-hal kecil—seperti segelas teh, atau jalan-jalan santai menikmati pemanangan—karena saya tak berusaha mencapai tingkatan kebahagiaan yang lebih tinggi. Saya tak repot-repot memikirkan apa yang bakal saya wariskan. Saya tahu hidup itu tak ada artinya.”

Ennis mengatakan, dirinya tak fanatik pada antinatalime. Sebagai cabang filsafat, dia pesimis ideologi tersebut bakal membantu hidup penganutnya. “Justru yang lebih menguntungkan adalah hal-hal yang membuat kita lupa antinatalisme,” terangnya. 

“Ada suatu hal yang agak menyeramkan bila kita terus berpikir tentang betapa tak berharganya hidup ini. Meski begitu, saya paham betul impuls yang membuat kita terus-menerus berpikir demikian. Ada kalanya kami merasa tenang, lantaran sadar pemikiran macam ini dimiliki oleh banyak orang.”

Psikoterapis sekaligus konsultan pernikahan, Hilda Burke, mengatakan setiap dia menemukan klien menunjukkan gelagat berpikir ala penganut antinatalisme, dia akan menggali lebih dalam apakah ini ada kaitannya dengan trauma yang pernah dialami sang klien. 

“Di satu sisi, antinatalisme sepintas mirip Budhisme—dua-duanya percaya bahwa hidup adalah penderitaan,” katanya. “Tapi, ini juga cara kurang dewasa dalam memandang dunia; cara pandangnya sangat hitam dan putih. Segala bentuk ekstremisme memang patut diwaspadai.”

Masalahnya, penganut antinatalisme tak akan mengubah cara pandang mereka akan dunia. “Saya mencoba menggunakan sudut pandang lain, tapi sekali kamu melihat dunia seperti semestinya, kamu tak akan berubah pikiran,” kata Laura. 

Sementara itu, Kenqwi mengakui dia ingin lepas dari antinatalisme. "Saya berusaha mencari cara untuk menyingkiran pemikiran antinatalisme. Saya terus mencari argumen kaum pro-natalist yang kira-kira bakal menyakinkan saya untuk berubah pikiran. Karena jujur saja, menjadi penganut antinatalisme itu berat. Penganutnya selalu kesepian.”

Related

News 4735599398055197966

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item