Sejarah dan Asal Usul Dongeng 1001 Malam yang Melegenda (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah dan Asal Usul Dongeng 1001 Malam yang Melegenda - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Untung ada yang membelanya. John Payne, dalam buku Aladdin and the Enchanted Lamp and Other Stories (London 1901), percaya bahwa Galland mendapatkan cerita itu dari Diab. Di Bibliothèque Nationale di Paris juga ditemukan dua naskah Arab yang memuat cerita Alladin. 

Satu naskah ditulis oleh Dionysios Shawish atau Dom Denis Chavis, seorang pendeta dari Suriah. Lainnya merupakan salinan yang dibuat oleh Mikhail Sabbagh, yang aslinya ditulis di Baghdad pada tahun 1703. Naskah itu dibeli oleh Bibliothèque Nationale pada akhir abad ke Sembilan belas. 

Tapi peneliti lainnya, seperti Muhsin Mahdi dan Husain Haddawy, menuduh kedua naskah tersebut sebetulnya adalah terjemahan tulisan Galland ke Bahasa Arab. Mana yang benar? Tak ada yang tahu.

Yang jelas, terjemahan Galland membuka jalan bagi penerjemahan karya sastra ini ke berbagai bahasa. Penerjemah 1001 Malam yang paling terkenal mungkin Richard Francis Burton. 

Burton menerbitkan terjemahannya 200 tahun setelah Galland. Hanya saja, terjemahan Burton diterbitkan di kalangan terbatas karena materinya dinilai terlalu erotis. Sisi erotis ini bisa dipahami karena sebelumnya Burton sempat menerjemahkan buku erotis legendaris lainnya, Kama Sutra. Sayangnya di era Victoria, tak ada ruang bagi erotisme yang lebih dianggap sebagai kesenonohan.  

Akhirnya, Burton pun mencetak bukunya secara terbatas dengan bantuan Kama Shastra Society. Yang menonjol adalah catatan kaki Burton yang menggambarkan pengetahuannya yang luas tentang budaya dan sastra Timur Tengah. 

Berbeda dengan Lane yang melembutkan bahasa dalam terjemahannya, Burton tak hanya menceritakan ulang 1001 Malam apa adanya, melainkan juga memberikan pengantar tentang dunia Timur Tengah yang kaya. Reputasinya sebagai penjelajah Eropa yang mengunjungi Mekah dan Afrika memang tak diragukan lagi.

Tahun 1835, Muhammad Ali, pemimpin Mesir, menerbitkan naskah versi Mesir. John Payne menerbitkan versinya pada tahun 1882, dan Andrew Lang pada tahun 1897. Dalam versi Inggris, judulnya menjadi Arabian Nights. Mungkin karena mereka mengadaptasinya dari naskah Arab, sama seperti yang dilakukan oleh Galland. 

Sialnya, ternyata versi yang diperoleh Galland adalah satu dari sekian versi Arab yang ada. Selain versi Arab, ada juga versi India dan Mesir. Semuanya dianggap sebagai naskah “asli”. 

Pada tahun 1300 hingga 1700-an, cerita 1001 Malam sudah dikenal luas di Timur Tengah, termasuk di Kairo, tempat naskahnya ditulis ulang dan menjadi dasar dari versi 1001 Malam selanjutnya. Karena berasal dari versi yang berbeda, maka cerita-cerita setiap penterjemah agak berbeda. 

Tetapi yang jelas, mereka sama sekali tak mempersoalkan kelakuan Galland yang dengan enteng menambahkan cerita dari luar cerita aslinya ke dalam terjemahannya. Buktinya, mereka masih menyertakan cerita Ali Baba dan 40 Penyamun, juga Aladin, ke dalam terjemahannya.

Tambah 1001 cerita

Jadi, mana naskah yang asli? Sulit menentukannya. Naskah versi Persia sebelum era Arab dikenal sebagai Hazar Afsana, yang berasal dari abad ke 8 hingga 9 Masehi. Mungkin naskah aslinya lebih tua lagi. Yang jelas, saat itu ceritanya berjumlah 200 buah, bukan 1001. Sayangnya, naskah ini lenyap tak berbekas. 

Pada abad ke 10 hingga 12, banyak unsur Arab yang ditambahkan pada cerita aslinya, hingga kemudian menggantikan hampir seluruh cerita aslinya. Latar belakang Persia digantikan dengan latar belakang Arab, terutama Irak dengan Baghdad. Maka munculah versi dongeng Baghdad, dengan Sultan Harun Al-Rasyid (786-890), Perdana Menteri Jafar, dan Abu Nawas. 

Tokoh-tokoh nyata tersebut ditambahkan untuk memperkuat latar belakang Irak saat cerita itu ditulis ulang, meski sebenarnya tak ada kaitannya sama sekali dengan 1001 Malam. Yang jelas, dengan penambahan itu, ceritanya meningkat menjadi 300 buah. Saat itulah mungkin Alf Laylah wa Laylah ditulis di Suriah. Naskahnya ditemukan di Kairo pada tahun 1947.

Ketika 1001 Malam semakin kesohor, para penutur berikutnya seperti memburu tugas suci, “menambahkan cerita hingga sesuai dengan judul aslinya, yaitu 1001 cerita”. Tahun 1825 hingga 1843, Maxmillian Habicht menerbitkan 8 volume 1001 Malam dalam Bahasa Arab dan Jerman. Penulisnya, Murad Al-Najjar, menambahkan cerita-cerita yang lain, hingga jumlahnya benar-benar menjadi 1001 buah. 

Ternyata, cerita ini tidak hanya tentang cerita 1001 Malam, tetapi dirajut dari 1001 sumber berbeda. Tak heran, tak ada satu pun negeri yang berhak mengklaim sebagai asal muasal 1001 Malam, karena kisah ini sebenarnya dirajut dari berbagai tempat yang berbeda.

Related

History 3921790835897264272

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item