Yordania, Negara Arab yang Didirikan dan Dikendalikan Barat (Bagian 1)


Naviri Magazine - Kerajaan Hasyimiyah Yordania, biasa disebut Yordania, ialah negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Suriah di sebelah utara, Arab Saudi di timur dan selatan, Irak di timur laut, serta Israel dan Tepi Barat di barat. 

Yordania menerima arus pengungsi Palestina selama lebih dari 3 dasawarsa, menjadikannya sebagai salah satu penampung pengungsi terbesar dunia. Negara yang miskin bahan tambang ini mengimpor minyak bumi dari negara-negara tetangga.

Didirikan oleh Inggris

Sebagaimana negara-negara Arab lainnya, berdirinya negara Yordania yang dikenal dengan sebutan al-Mamlakah al-Urdunniyah al-Hashimiyah (al-Urdun) tidak lepas dari politik penjajahan imperialis Barat di Timur Tengah pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. 

Sama seperti Saudi, Irak, dan negeri-negeri Arab lainnya, Kerajaan Yordania merupakan bentukan penjajah Inggris yang memberontak terhadap Khilafah Islam yang berpusat di Turki. 

Pasca Perang Dunia I, Yordania, yang sebelumnya dikenal dengan Trans Yordania, merupakan bagian dari Kerajaan Arab Suriah. Inggris dan Prancis kemudian bersepakat untuk saling membagi daerah ini. Suriah berada di bawah pengaruh Perancis, sementara Inggris mendapat bagian Trans-Yordania berdasarkan konferensi di San Remo. 

Inggris kemudian mengangkat Abdullah ibn Hussein sebagai pemimpin wilayah Trans-Yordania. Abdullah adalah saudara Faisal, yang memimpin Revolusi Arab untuk memberontak dari Kekhilafahan Islam. Faisal berasal dari keluarga Hashemite (Hasyimiyah). Ia pernah menjadi penguasa di Makkah, namun kemudian diganti oleh penduduk setempat. 

Jadi, sejarah pembentukan negara Yordania tidak bisa dilepaskan dari keluarga Hashemite dengan bantuan Inggris.

Abdullah menjadi pemimpin Trans-Yordania setelah ditunjuk oleh sekretaris kolonial Inggris saat itu, Winston Churchill. Dia dikukuhkan pada 1 April 1921, dengan subsidi dari Inggris sebesar 5.000 poundterling setiap bulan. 

Negeri ini hidup di bawah bantuan Inggris yang memberikan subsidi 100.000 pounsterling setiap tahun pada 1920-an, dan meningkat menjadi 200.000 pounsterling pada tahun 1940-an. 

Inggris kemudian memberikan hadiah kemerdekaan kepada Yordania pada 22 Maret 1946. Namun, pemberian kemerdekaan ini hanyalah ‘akal-akalan’ Inggris untuk tetap mempertahankan penjajahannya di Dunia Islam.

Inggris tentu ingin agar penguasaannya di Yordania tetap ada. Karena itu, berdasarkan perjanjian aliansi di London tanggal 26 Maret 1946, Inggris memberikan kemerdekaan dengan pola yang sama dengan perjanjian Inggris-Irak. Melalui perjanjian ini, Inggris mengakui kemerdekaan Trans-Yordania (Yordania), menyetujui perwakilan diplomatik, sanggup memberikan subsidi kepada Legiun Arab, dan berusaha mempertahankan Emirat dari pihak luar. 

Sebagai imbalannya, Inggris berhak menempatkan tentaranya di wilayah Trans-Yordania, menggunakan fasilitas komunikasinya, dan melatih angkatan perang Abdullah. Kedua negara setuju dengan ‘konsultasi penuh dan terbuka’ dalam segala urusan politik luar negeri yang bisa mempengaruhi kepentingan bersama mereka.

Untuk memperkuat kedudukannya dan mempertahankan pengaruh Inggris, Abdullah bersama Inggris membentuk tentara Legiun Arab yang dipimpin oleh dua orang Inggris, F.G. Peake dan John Glubb, yang kemudian digelari Glub Pasha. Tentara ini direkrut dari para pengacau yang ada di gurun di sepanjang perbatasan. 

Dengan kekuatan tentara binaan Inggris inilah, Abdullah mempertahankan kekuasannya. Sangat jelas di sini, bahwa kemerdekaan dan pembentukan negara-negara di Dunia Islam adalah hadiah dan konspirasi imperialis. 

Pengkhianatan penguasa Yordania

Pengkhianatan yang utama dan bukan terakhir yang dilakukan oleh penguasa Yordan adalah memberontak terhadap Daulah Khilafah Islam dengan bekerja sama dengan Inggris. Tidak berhenti di sana, penguasa Yordan banyak mengambil kebijakan dengan mengikuti arahan dari Inggris dan negara-negara imperialis lainnya. 

Beberapa bentuk pengkhianatan itu antara lain: 

Pertama, menyangkut krisis Palestina

Pengkhianatan penguasa Yordania dalam krisis Palestina tampak saat Yordania melepaskan (tanpa perang) Tepi Barat kepada Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967. Dalam buku sejarah yang dikeluarkan oleh Oxford University, dengan judul Collusion Across Jordan, diungkap beberapa konspirasi penguasa Yordan dalam pembentukan negara Israel. 

Hal yang sama diungkap dalam buku Israel Shahak, Open Secrets (Pluto Press, 1997), bahwa Raja Abdullah direkrut sebagai agen mata-mata gerakan Zionis pada awal 1920-an, setelah dia ditunjuk sebagai pemimpin Trans-Yordania oleh Inggris. (Mid-Eastrealities, K.Com 1/5/2002). 

Pengkhianatan berlanjut, Raja Hussein mengakui PLO sebagai pihak yang berwenang untuk mengurusi rakyat Palestina. Padahal, pembentukan PLO tidak lepas dari kepentingan Inggris. Pada tahun 1994, penguasa Yordan menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel, dan mengakhiri kondisi perang dengan Israel. 

Perdamaian ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan, karena merupakan pengakuan resmi terhadap keberadaan negara Israel di bumi Palestina yang merupakan milik kaum Muslim. Hal ini juga mencerminkan keengganan penguasa Arab untuk berjihad membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. 

Tanpa mempertimbangkan hukum syariat tentang larangan melakukan hubungan apa pun dengan musuh yang sedang memerangi kaum muslimin, kecuali hubungan perang, pada September 2002 penguasa Yordania melakukan kerjasama ekonomi dengan Israel. 

Kedua negara bersepakat untuk membangun saluran air dari Laut Merah ke Laut Mati. Proyek yang menghabiskan dana sebesar 800 juta dolar ini merupakan kerjasama terbesar kedua negara.

Baca lanjutannya: Yordania, Negara Arab yang Didirikan dan Dikendalikan Barat (Bagian 2)

Related

International 7574066546875595359

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item