Kisah Dua Perempuan Mendirikan Bisnis Bahan Bangunan dengan Sampah Plastik


Naviri Magazine - Meski banyak digemari karena praktis dan murah, sampah plastik kemasan sachet sulit didaur ulang. Sampah-sampah plastik kemasan juga kerap ditolak di bank sampah.

Namun, dua perempuan bernama Ovy Sabrina dan Novita Tan dapat mengubahnya menjadi bisnis bahan bangunan bernama Rebricks Indonesia. Rebricks mengolah sampah plastik, seperti kemasan kopi instan, menjadi bahan baku untuk material bangunan. 

Perusahaan itu mencacah plastik, lalu mencampurkannya ke dalam formula yang kemudian dibentuk menjadi konblok. 

Awal Mula Bisnis Bahan Bangunan dengan Sampah Plastik

Ovy dan Novita adalah teman kuliah. Kedua perempuan berusia 34 tahun itu punya ketertarikan untuk menjalani gaya hidup minim sampah.

Obrolan mereka tentang beberapa jenis sampah plastik yang belum bisa didaur ulang dan diolah, membuat Ovy dan Novita berpikir soal masa depan generasi selanjutnya, bila sampah-sampah plastik yang belum bisa diolah kembali itu terus menumpuk dan berdampak buruk kepada lingkungan. 

Mereka kemudian memutar otak, mencari cara untuk bisa berkontribusi mengolah sampah-sampah tertolak itu agar bisa jadi sesuatu yang bermanfaat. 

Kebetulan, Ovy datang dari keluarga yang memiliki bisnis di bidang bahan bangunan. Setelah lulus kuliah, dia sempat membantu sang ayah bekerja di pabrik bahan bangunan tersebut. 

Di sisi lain, Novita lama berkecimpung di organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan. Dia pernah mendirikan Sekolah Harmoni Hijau yang bertujuan menyebarkan kecintaan terhadap alam di sekolah. 

"Di sana dia juga membuat pengolahan sampah organik," tutur Ovy, selaku COO dan Co-founder Rebricks Indonesia, dikutip dari Antara.

Latar belakang mereka akhirnya dipadukan untuk mendirikan Rebricks. Ovy yang lebih paham mengenai cara pembuatan batu bata dan paving block mengurusi hal-hal teknis, sementara masalah pengembangan masyarakat diserahkan kepada Novita.

"Karena ada akses ke bisnis bahan bangunan, aku dan Novi berpikir bagaimana kalau kita olah sampah plastik tertolak. Trial dan error dimulai dari Juli 2018 sampai November 2019," tutur Ovy, yang dibantu tim yang berlatar belakang Teknik Sipil. 

Selama lebih dari satu tahun, mereka mencari komposisi terbaik dan mengulik bagaimana agar bisa menghasilkan bata dengan campuran sampah plastik, tapi kualitasnya sama seperti bata konvensional. 

Menciptakan produk baru yang belum pernah ada sebelumnya tentu merupakan tantangan yang besar. 

"Kami visinya ingin membuat produk daur ulang dengan harga kompetitif, tapi kualitasnya bersaing," ujar dia. 

Riset yang dilakukan sekian lama menghasilkan paving block yang pertama kali diluncurkan pada November 2019. Setelah melalui hasil uji tekan di Balai Besar Bahan dan Barang Teknik Kementerian Perindustrian, Rebricks mendapatkan hasil bahwa produk yang mereka hasilkan memiliki mutu B. 

Bata-bata itu teruji bisa menahan beban 250kg per sertimeter persegi. Jadi, paving block yang mereka bikin memenuhi standar untuk konblok yang digunakan di lahan parkir, trotoar, dan taman. 

Sampah plastik yang sudah dicacah berada dalam lapisan bawah paving block. Dalam setiap paving block, 20 persen bahannya berisi sampah. 

Mereka mendaur ulang 880 lembar sampah plastik tertolak per meter persegi. Sementara itu, bagian atas konblok yang langsung bersentuhan dengan udara panas dan air hujan dibuat tanpa plastik, sebagai upaya mencegah agar tidak ada mikro plastik yang terkikis oleh air dan jadi mencemari alam.

Tantangan Awal

Awal Rebricks berdiri, Ovy dan Novita bingung ke mana harus mencari sampah kemasan sachet yang akan dicampurkan ke dalam konblok. 

Pengepul dan bank sampah tidak berminat dengan sampah kemasan sachet, jadi mereka tidak bisa mencari ke sana. Biasanya, sampah kemasan sachet langsung berakhir di TPA atau dihancurkan dengan cara dibakar. 

"Kami mengajak teman-teman untuk mengirim sampah, awalnya sih ragu, mau enggak ya masyarakat kirim ke kita langsung? Tapi ternyata responsnya luar biasa, itu mengejutkan banget," kenangnya. 

Banyak orang yang secara sukarela mengirimkan sampah ke tiga drop point yang berada di Tangerang, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Belakangan mereka juga telah membuka di Bandung dan rencananya akan ada di BSD. 

"Ada yang rela kirim berkarung-karung dari Bali, jadi saat ini benar-benar tidak ada masalah soal suplai," katanya, menambahkan sebagian besar penyumbang sampah adalah perorangan. 

Dari situ, mereka pun terpacu untuk menyeimbangkan pasokan sampah dengan produksi dan penjualan konblok. 

Mereka bisa memproduksi maksimal 100 meter persegi setiap hari, dengan harga jual Rp 95 ribu per meter persegi. Tapi saat ini produksi disesuaikan dengan permintaan. Rebricks juga baru melayani konsumen asal Jabodetabek. 

Related

News 6592033250740820898

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item